Mahasiswa Kok Anti Demo, Kacau!
Opini, Melani-- Trend mahasiswa masa kini yang lebih suka hura-hura di kantin atau kosan, atau bahkan mall ternama di sebuah kota, atau yang lebih miris lagi untuk pergi dug-stak setiap malam dengan alasan melepas penat, nampaknya bukan lagi hal aneh dalam masyarakat kita saat ini. Mahasiswa yang seharusnya menjadi Agent of Change seperti beralih fungsi, menjadi Agent of Event Organizer yang pandai mengorganisir sebuah event, tapi pudar jiwa kritisnya.
Mahasiswa seperti yang kita ketahui bersama, memiliki fungsi dan peranannya dalam masyarakat, diungkapkan oleh Knopfemacher bahwa mahasiswa sebagai Guardian of Value yaitu mahasiswa yang menjaga nilai-nilai masyarakat yang kebenarannya mutlak, seperti: kejujuran, sikap gotong-royong, integritas, empati dan hal lainnya. Mahasiswa dituntut untuk mampu membawa, menyampaikan, dan menyebarkan nilai-nilai tersebut di masyarakat.
Tapi kenyataannya, kebanyakan mahasiswa saat ini acuh terhadap nilai-nilai kebenaran dan cenderung bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya.
Terkadang banyak mahasiswa yang menganggap aksi unjuk rasa adalah hal yang bersifat negatif, tidak mencerminkan attitude yang baik, dan dianggap sebagai mahasiswa yang ‘kritis berlebihan’ karena tindakannya cenderung radikal. Mahasiswa seperti di konstruksi pemikirannya bahwa demo dan orasi di jalanan itu adalah perbuatan yang salah dan tidak patut dicontoh, padahal aksi unjuk rasa merupakan bentuk partisipasi politik yang membawa pengaruh besar untuk sebuah negara.
Teriakan-teriakan mahasiswa di jalanan yang membawa kritik kepada pemerintah bisa membawa perubahan yang berarti. Persepsi mahasiswa yang keliru itulah yang perlu dirubah, karena pada akhirnya mahasiswa menjadi terbelenggu dengan konstruksi pemikiran yang salah.
Rosa Luxemburg dalam bukunya Pemogokan Massa, dengan gamblang mengatakan bahwa pemogokan massa diperlukan untuk merubah suatu sistem yang keliru. Jika pemogokan massa tidak mendapat tanggapan, maka lakukanlah boikot!
Kenapa Harus Mahasiswa?
Kenapa harus mahasiswa yang membawa perubahan? Pertanyaan ini banyak dilontarkan didalam kelas dan diskusi. Bahkan saya juga harus berpikir keras, kenapa tanggung-jawab yang berat ini dibebankan pada mahasiswa yang seharusnya duduk manis belajar dan membaca buku?
Mahasiswa memiliki fungsi sebagai social control yang dapat memberikan saran, kritik dan solusi untuk permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Mahasiswa dengan kemampuan intelektualnya harus mampu menyelesaikan perkara yang tidak mendapat perhatian pemerintah, karena mahasiswa di masa depan akan menjadi penerus bangsa.
Kenapa Harus Demonstrasi?
Perlu diketahui bahwa banyaknya aksi demonstrasi (media sering menyebutnya dengan aksi unjuk rasa) yang marak terjadi di Indonesia, tidak tiba-tiba terjun ke jalan dan membuat kerusuhan disana-sini. Pada dasarnya, kaum terdidik akan lebih dulu menempuh jalan damai lewat audiensi untuk membahas tuntutan-tuntutan yang ada. Peserta aksi unjuk rasa pasti ingin berbicara langsung dengan wakil rakyat, atau pejabat yang bersangkutan. Namun, terkadang wakil rakyat yang bersangkutan tidak dapat ditemui, bahkan tidak mau untuk memberikan komentar.
Satu-satu nya jalan yang akan mendapat perhatian pemerintah, adalah dengan aksi unjuk rasa. Tapi perlu digaris bawahi pula, bahwa aksi unjuk rasa akan sia-sia tanpa massa yang banyak. Diperlukan massa yang tidak sedikit untuk mendapat perhatian pemerintah.
Bagaimana Dengan Kelompok Kepentingan?
Tentu saja, aksi unjuk rasa tidak bisa lepas dari kepentingan beberapa kelompok. Pasti selalu ada oknum yang diuntungkan dari sebuah aksi massa. Namun kita tidak bisa mempersempit pemikiran kita sebagai mahasiswa yang intelektual bahwa dalam keadaan bagaimanapun, aksi unjuk rasa diperlukan sebagai salah bentuk pembawa perubahan.
Jika kalian bertanya kenapa aksi unjuk rasa berujung anarkis, maka kita harus memperhatikan kondisi di lapangan, dan media massa yang hobi memberitakan informasi yang hanya bertujuan untuk menaikkan rating tanpa memberitahu keadaan sebenarnya di lapangan karena takut akan merugikan beberapa kelompok. Media massa hanya memberitakan dampak negatif yang timbul dari aksi unjuk rasa, hal ini akan menggiring opini publik bahwa aksi unjuk rasa adalah bentuk anarkisme yang tidak patut ditiru, tindakan negatif yang merugikan masyarakat.
Kondisi di lapangan juga tidak bisa diprediksi, selalu saja muncul provokator, aparat keamanan yang represif dan kasar, belum lagi ditambah aspirasi yang tidak mendapat tanggapan.
Kenapa Aksi Unjuk Rasa Banyak Dicibir?
Selain alasan-alasan yang telah saya jelaskan sebelumnya, terdapat poin penting yang tidak bisa diacuhkan, bahwa lebih banyak kelompok kepentingan yang tidak memiliki power dalam suatu wilayah.
Begitu pula dengan mahasiswa. Mahasiswa merasa dirinya tidak memiliki daya untuk melawan, tidak memiliki kepentingan karena tidak berdampak langsung pada kehidupannya. Bayangkan jika seorang mahasiswa rantau yang orangtuanya bergantung pada hasil tani, memiliki kehidupan yang sulit, memiliki tanggung jawab untuk mensekolahkan dua adiknya hingga sarjana, lalu lahan untuk mengadu nasib nya akan dialih-fungsikan menjadi lahan industri. Ia akan berteriak dengan lantang, menindak tegas ketidak adilan dalam dunianya.
Lalu, bayangkan seorang mahasiswa yang ayah dan ibu nya adalah seorang kontraktor yang mempunyai project baru untuk melakukan industrialisasi pada wilayah pertanian. Maka mereka akan dengan mudah mencibir demonstran yang melakukan aksi unjuk rasa menolak industrialisasi.
Bagaimana Idealnya Tindakan Mahasiswa?
Kelompok yang dirugikan dengan industrialisasi pasti akan berpangku-tangan mengharapkan bantuan pemerintah, seperti yang saat ini dilakukan oleh petani-petani Kendeng. Namun bagaimana dengan mahasiswa? Apakah kita juga hanya ikut menunggu pemerintah turun tangan?
Mahasiswa yang sadar akan ketidak-adilan yang terjadi di depan matanya tidak akan diam dan menunggu. Munculnya gerakan-gerakan mahasiswa yang dirasa anarkis dan banyak dicemooh oleh masyarakat awam, adalah salah satu bentuk untuk membela rakyat yang tertindas.
Memang banyak cara untuk berjuang, dan mahasiswa memiliki cara tersendiri dan tidak perlu dipermasalahkan jika tujuan akhirnya adalah kebenaran yang hakiki. Namun bagaimana dengan mahasiswa yang hedon dan enggan membuka mata untuk sekitar? Apakah jiwa sosialnya mati? Atau terlalu banyak doktrin kebebasan yang sudah mendarah-daging dalam tubuh mahasiswa saat ini?
Jadilah manusia yang tidak hanya cerdas tapi juga berjiwa sosial tinggi, jadilah manusia yang tidak hanya terpaku pada moralitas dan hukum, tapi juga membuka mata pada kebenaran.
Untuk kamu mahasiswa, masih geleuh sama demonstrasi?
Melani Chaniago
Mahasiswa Hubungan Internasional
FISIP Unpas 2015
jadi penasaran sama penulisnya
BalasHapusmahasiswa sekarang bukan lagi berperan sebagai subjek perubahan, justru jadi objeknya.
BalasHapus