Perempuan Modern Harus Berani Berpikir Kritis!
Opini, Melani -- Memperingati International Woman’s Day yang jatuh pada tanggal 8 Maret tiap tahunnya, kita kembali pada kenyataan hari ini di Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya, tentang perempuan – perempuan yang masih menutup diri pada dunia dan sekitarnya.
Awalnya, gagasan tentang perayaan ini kali pertama dikemukakan saat memasuki abad ke-20 di tengah maraknya industrialisasi dan ekspansi ekonomi di dunia yang menyebabkan timbulnya protes – protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada 8 maret 1857 di New York City. Mereka memprotes hak – hak mereka yang tidak sebanding dengan kewajiban yang sudah dikerjakan. Dua tahun kemudian, pada bulan yang sama mereka membentuk serikat buruh. Pada 1908 di New York, para perempuan melakukan aksi damai secara luas dan perdebatan kritis di kalangan perempuan. Penindasan dan ketimpangan terhadap perempuan menjadi lebih vocal dan aktif dalam kampanye menuntut perubahan. Kemudian pada tahun yang sama, 15000 perempuan melakukan aksi longmarch menembus kota New York, menutut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik, dan diberikan hak pilih.
Nama Anne Frank sudah pasti tidak asing lagi di telinga kalian. Anne Frank, penulis buku “The Diary of A Young Girl” gadis remaja Jerman yang bersembunyi dari kejaran tentara Nazi selama Perang Dunia II. Anne Frank mengalami kehidupan yang sulit karena penindasan dan fasisme di bawah kekuasaan Nazi. Ia berani menulis kekejaman rezim dan tindakan yang tidak memanusiakan manusia pada catatan hariannya. Sebuah keberanian luar biasa untuk seorang perempuan berusia 15 tahun. Tulisannya menggugah rasa kemanusiaan dan memberi keberanian untuk melawan tindakan rezim yang otoriter.
Jika kita mengingat apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1943 – 1945 kala Jepang masih menduduki wilayah Indonesia, kita kembali menelan kenyataan pahit terhadap apa yang terjadi pada perempuan – perempuan pribumi kala itu: dijadikan pemuas nafsu seks tentara Nippon.
Tentu saja perempuan pada masa itu tidak dengan senang hati (dan mungkin juga keluarganya karena terpakasa) mengiyakan tawaran Jepang saat itu yang akan menyekolahkan perempuan pribumi ke Jepang dan Singapura.
Pada masa – masa dimana perempuan hanya menjadi pemanis dalam rumah tangga, dan hanya bertugas untuk dapur-anak-suami, atau perempuan yang bekerja tapi tidak sepadan hak dan kewajibannya, muncullah emansipasi, dimana perempuan ingin disamakan hak dan derajatnya dalam pendidikan, hukum dan negara.
Kehidupan perempuan saat ini yang sudah bisa dibilang modern: menjadi seorang manager disebuah perusahaan, menjadi pengusaha, menjadi dokter, berdiri dibawah kaki sendiri. Emansipasi sudah tidak sesederhana masa lalu, saat Dewi Sartika mendirikan sekolah pertama untuk perempuan pribumi. Emansipasi bukan lagi hal yang perlu dituntut, karena tuntutannya sendiri sudah diterapkan; penyetaraan derajat dalam pendidikan, hukum, dan negara.
Namun, apakah sudah cukup peran perempuan hanya sekedar ‘bergerak’ dalam ketiga bidang tersebut tanpa membawa perubahan yang berarti?
Aksi petani Kendeng, Semarang yang menuntut penutupan pabrik semen karena pembangunannya berarti degradasi lahan pertanian menjadi lahan industri yang tidak mendukung untuk wilayah Kendeng..
Perlu diketahui bahwa pelopor gerakan penuntutan pabrik semen adalah seorang perempuan bernama Yuliantini. Ia bersama teman – temannya dengan gagah berani mengecor kaki mereka dengan semen di depan istana merdeka sebagai bentuk protes pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di wilayah pegunungan Kendeng.
Aksi perempuan lainnya adalah pada Maret 2013, Luviana seorang wartawan metro TV yang di PHK oleh manajemen karena akan membuat serikat kerja, menuntut perbaikan kesejahteraan karyawan, dan tuntutan lainnya untuk menyelamatkan hak – hak yang kewajibannya telah terpenuhi.
Kedua kasus tadi, membuat kita harus kembali berpikir dan bercermin, apakah emansipasi sudah terlaksana? Jika Ya, apakah sudah cukup?
Perempuan nantinya memang harus mengurusi urusan rumah tangga dan anak - anak, tapi didalam diri manusia selayaknya, perempuan juga menyimpan potensi untuk berkembang dan menjadi pribadi yang lebih maju.
Banyak persoalan pelik yang sebenarnya terjadi di masyarakat Indonesia soal perempuan, seperti kedudukan perempuan di dunia politik yang masih minim. Seolah – olah dunia politik hanya dimiliki laki – laki, dan perempuan kembali hanya sebagai pemanis, emansipasi sudah terlaksana.
Namun dalam tulisan ini, saya tidak akan menyinggung soal – soal kenegaraan seperti diatas, tapi lebih kepada perempuan masa kini yang sudah mulai meninggalkan moralitasnya sebagai perempuan, dan sebagai manusia.
Nampaknya, masih banyak perempuan saat ini lebih mementingkan make-up dan chat balasan dari kekasihnya, daripada memikirkan kehidupannya dimasa depan. Jauh berbeda dengan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Anne Frank, Yuliantini dan perempuan hebat lainnya.
Masih banyak perempuan di Indonesia yang berpikir tradisional bahwa hidupnya hanya akan berujung pada pernikahan, dan urusan dapur – anak – suami. Padahal sebenarnya, mereka (kita) bisa jauh bergerak lebih maju. Perempuan memang harus cantik, hal tersebut adalah kewajiban. Tapi bukankah hanya cantik saja tidak cukup? Dan kalian (kita) sudah sadar akan hal itu.
Perempuan harus cantik, dan harus kaya akan pengetahuan. Dan bukankah pengetahuan banyak didapat dari membaca? Bukan hanya membaca line today atau timeline tentunya, perempuan juga harus banyak membaca buku.
Hentikan pikiran kalian yang selalu berputar – putar pada masalah roman, atau kotak make – up kalian yang hampir kosong isinya karena habis. Perempuan harus berpikir lebih maju diatas dari hubungan roman dan perhiasan. Perempuan harus berani bergerak untuk kebenaran, tidak hanya menerima informasi, tapi juga harus berpikir kritis untuk menelaah informasi tersebut, jika bisa terjunlah dalam dunia politik dan menjadi pemimpin, tidak hanya bawahan. Perempuan juga harus sadar potensi dirinya sendiri, menjadi pribadi yang berpengetahuan luas serta rendah hati untuk kemajuan bangsanya sendiri.
Melani Chaniago
Hubungan Internasional
FISIP Unpas
2015
Beri Komentar