Header Ads

Aksi Mogok Angkot dan Ketimpangan Regulasi Transportasi Umum

Aksi mogok angkot untuk menolak transportasi online yang terjadi di depan Gedung Sate Bandung, Kamis (9/3).

Opini, Yoga-- Jutaan serdadu berjajar di garis depan dengan senjata yang lengkap, mereka menunggu komando di dalam parit-parit yang mereka gali. Kemudian ketika para perwira meniupkan peluitnya, maka majulah serdadu-serdadu itu dengan moral yang tinggi--perang adalah sebuah kebenaran--untuk membunuh pasukan musuh sebanyak-banyaknya sebelum mereka mati di medan perang. Bagi mereka, hidup harus sesuai dengan perintah, dan mati pun harus sesuai dengan perintah, betapa tragisnya menjadi seorang martir.

Hari ini kita mungkin dapat bernafas lega dan bersyukur, karena kita tidak mengalami langsung bagaimana kehidupan di dalam masa-masa peperangan. kita adalah generasi yang menikmati keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, karena detik ini sistem pemerintahan kita di dasarkan kepada Civil Law yang berupa peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, dan yurisprudensi yang menempatkan konstitusi tertulis (UUD 1945) pada kasta tertinggi kemudian dilanjutkan dengan peraturan lain di bawahnya (UU/Perpu, Peraturan pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah).

Sehingga segala aktivitas yang terjadi di dalam masyarakat baik warga negara dan pemerintah harus mematuhi hukum yang berlaku, no more tyrany!

Sebagai perwujudan dari demokrasi dan civil law yang kita terapkan, beberapa waktu yang lalu tepatnya Kamis 9 Maret 2017 telah terjadi aksi mogok kerja yang dilakukan oleh para sopir angkot yang berunjuk rasa di depan Gedung Sate Jalan Dipenogoro, Kota Bandung.

Fenomena ini terjadi bukan tanpa sebab-sebab yang jelas, seperti yang dikatakan oleh ketua Organda (Organisasi Angkatan Darat) Kota Bandung Neneng Djurairah bahwa 50 persen dari total 5.521 angkot dan 2000 taksi dari sembilan perusahaan harus berhenti beroperasi, karena sejak dua tahun ke belakang moda transportasi berbasis online sudah mulai “mengepung” Kota Bandung yang menyebabkan angkot dan taksi konvensional kalah dalam persaingan yang berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Itulah yang menyebabkan mereka turun ke jalan.

Namun amat disayangkan aksi “damai” itu telah ternodai dengan adanya insiden perusakan terhadap sebuah mobil di Jalan BKR-Sriwijaya oleh beberapa oknum sopir angkot. Akibatnya adalah citra angkot sebagai angkutan umum masyarakat semakin terpuruk, karena hal yang demikian terkesan brutal di dalam benak masyarakat luas. Bahkan The Great Architect of Bandung, Ridwan Kamil mengatakan dengan entengnya “jangan selalu nyalahin sistem tapi perilaku angkot sendiri banyak mengecewakan masyarakat yang akhirnya berpindah ke opsi online.”

Kita memang tidak dapat menyalahkan kehadiran moda transportasi berbasis online di tengah-tengah kehidupan masyarakat, karena bagaimanapun juga, pada hakikatnya manusia adalah mahkluk yang ekonomis di mana segala tindakannya akan selalu berasaskan kepada persoalan untung-rugi atau concern on advantage. Mudahnya akses dan keunggulan di dalam pelayanan telah membuat sebagian besar masyarakat kita beralih ke moda transportasi online yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota dengan tingkat mobilitas yang tinggi, apalagi sejalan dengan itu semua, habis UU No. 22 Tahun 2009 maka terbitlah PM No. 32 Tahun 2016 yang menjadi payung hukum bagi moda transportasi online untuk beroperasi sebagai jenis angkutan tidak dalam trayek.

Sekarang, kalau bukan karena sistem (regulasi) lalu apa yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal di dalam masyarakat kita?

Sementara jelas-jelas kita ketahui bahwa segala aktivitas yang terjadi di dalam masyarakat adalah hasil konstruksi hukum atau sistem itu sendiri.

Berbicara soal sistem, memang angkot itu terkesan kolot dengan mobil jadulnya yang masih terus dipekerjakan atau lamban karena banyak ngetem di terminal atau halte, ditambah dengan masalah efisiensi (mahal) karena untuk menuju ke satu tempat saja kita harus berganti angkot yang sesuai dengan trayek. Belum cukup “PR” yang harus ditanggung, masalah kualitas pelayanan pun sangat memprihatinkan, seperti bau tak sedap di dalam angkot, pengamen, pencopet, dan tak lupa harus berdesak-desakan di kala angkot sudah full tank. Kita mungkin bertanya, kenapa angkot belum juga bebenah diri dari keadaannya yang demikian?

Persoalan yang pertama adalah karena angkot harus terdaftar pada sebuah terminal, kedua adalah angkot harus memiliki trayek, ketiga adalah angkot harus lulus uji teknis kendaraan bermotor, keempat adalah angkot harus membayar biaya retribusi, dan kelima adalah angkot sudah tentu harus berplat kuning karena merupakan jenis angkutan umum dalam trayek.

Sekarang boro-boro bebenah diri seperti yang dianjurkan PM No. 29 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Minimal, untuk melengkapi kelima hal itu saja sudah sangat memberatkan angkot agar dapat beroperasi di Kota Bandung karena memakan biaya yang tidak sedikit. Itulah mengapa angkot cenderung “mahal” tapi tidak sesuai dengan kualitas pelayanan yang disediakannya. Yang kalau kata Kang Emil mah mengecewakan masyarakat, tapi, atuh da ngomong mah gampang bos!

Berbeda dengan moda transportasi online yang tidak perlu terdaftar pada sebuah terminal, tidak harus mengajukan izin trayek, tidak harus berplat kuning, bahkan tidak harus mengikuti uji teknis kendaraan bermotor. Seperti yang diungkapkan Cucu Mulyana, Direktur Angkutan dan Multimoda Kemenhub, “Kalau tahu itu mobil baru, tidak perlu uji kir (uji teknis kendaraan bermotor), tinggal bawa surat-surat mobilnya”, apakah ini dapat dikatakan sebagai bentuk diskriminasi?

Belum lagi batalnya tarif atas dan bawah pada moda tranportasi online yang ditetapkan pemerintah, misalnya pemerintah menetapkan tarif atas RP.10.000 dan tarif bawah RP.5.000 maka moda tranportasi online tidak boleh menawarkan harga lebih murah dari RP.5.000, dan adapun saat jam sibuk, mereka dipersilakan menaikkan tarif asalkan tidak lebih dari RP.10.000 sebagai langkah menciptakan persaingan yang adil dengan moda transportasi konvensional. Tapi sayang cuman sebatas wacana. Yang semakin gila adalah banyaknya promo menggiurkan yang ditawarkan oleh moda transportasi online yang tentu saja tarifnya lebih cenderung “murah” dibandingkan moda transportasi konvensional, apakah ini dikatakan sebagai sebuah mekanisme persaingan yang adil?

Apabila pemerintah tidak segera meninjau kembali (merivisi) UU No. 22 tahun 2009 dan beberapa peraturan Kementrian Dinas Perhubungan yang memberatkan moda transportasi konvesional seperti angkot dan taksi untuk bersaing dengan moda transportasi online, maka konflik horizontal di dalam masyarakat sudah dapat dipastikan akan terus membumi di Kota Bandung!

Kali ini saatnya jajaran pemerintah yang berkuasa untuk berani bersikap bijaksana dan adil dalam menerapkan suatu regulasi yang menyangkut “urusan perut” masyarakat, kalau memang benar Kota Bandung berorientasi pada indeks kebahagian masyarakat, maka jangan sampai hanya kebahagiaan kelas borjuis saja yang masuk ke dalam peraturan sementara kelas proletariat (pekerja, buruh, dan tani) diabaikan begitu saja.

Katanya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Bercermin dari timpangnya mekanisme peraturan yang diterapkan oleh pemerintah, hari ini kita tidak boleh hanya berdiam diri seperti para serdadu yang hidup atau matinya ditentukan oleh suara peluit dan komando atasannya. Kita adalah generasi yang merdeka!

Atau mungkin kita harus menerima kehidupan dan kematian yang ditentukan oleh pemerintahan dan mekanisme peraturan yang timpang?

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” - Lord Acton.


Yoga Rahadian
Ilmu Hubungan Internasional
FISIP Unpas

Tidak ada komentar