Mereka yang Terlupakan (Bagian 1)
Oleh: Ilyas Gautama, Administrasi Negara 2015
Hembus angin menerpa hijaunya hamparan sawah sejauh Amin memandang, ia sedang duduk di pekarangan gubuk reyotnya. Gubuk itu terletak di tengah lembah yang dikelilingi sawah. Terdengar bunyi gesekan bambu dan kayu, yang menghasilkan bunyi kreeet...kreeet... dari gubuk itu.
Di pekarangannya itu Amin terlihat sangat lelah, wajahnya kusut dan peluh mengucur hampir di sekujur tubuhnya yang kurus kering. Terdengar hembusan nafas yang berat, ia dibuat risau oleh harga panganan yang terus melonjak dan semakin tak karuan. Bagaimana tidak? profesinya sebagai petani yang ia lakoni sejak dulu, hanya bisa membuatnya kenyang selama seminggu dalam satu bulan. Sisanya, adalah hari-hari penuh pengharapan bersama istrinya. Jika sedang beruntung, ia bisa makan dari hasil upah istrinya sebagai buruh cuci. Tapi jika peruntungannya sedang buruk, Amin dan Sanikem harus memutar otak dan mengerahkan seluruh daya upaya mereka. Mencari apapun yang bisa mereka kerjakan demi sesuap nasi.
Pada saat yang berlainan, jauh dari gubuk reot itu. Di sebuah kota yang bernama Ruam. Sedang berlangsung debat antar calon wali kota. Mereka memperdebatkan program siapa yang paling baik untuk kota itu. Dari mulai sekolah gratis, transportasi gratis hingga sembako gratis, semua serba gratis. Keduanya mendaku sebagai yang paling baik. Perdebatan itu berlangsung hingga ke akar rumput dan berlangsung tak kalah sengitnya. Dari mulai pekerja, pedagang, hingga suami istri yang sedang menuju ke peraduan, persoalan itu tak henti-hentinya di perdebatkan. Seolah semua perlu untuk berkomentar. Seolah hidup mati mereka ditentukan oleh kotak suara itu. Amin Jalalen dan istrinya Sanikem yang tinggal di sebuah desa di kota itu, tidak sedikitpun mengetahui hiruk pikuk perpolitikan yang ada.
Mereka hanya tahu soal pilkada dari obrolan orang ketika lewat, atau dari atribut partai yang bertebaran di jalan-jalan. Alih-alih untuk membeli sebuah tv atau radio, makan lebih dari sekali sehari, sudah jadi kemewahan bagi mereka. Kini, ketika hingar bingar panggung politik di kota itu kembali menjadi buah bibir bagi masyarakat, Amin dan Sanikem tetap tidak peduli. Mereka ogah peduli terhadap hal-hal macam itu. Karena bagi Amin dan Sanikem urusan perut saja sudah membuat kepala mereka pusing. Waktu terlalu mahal buat mereka jika dimanfaatkan untuk hal seperti itu. Ada satu pepatah, “rajin pangkal pandai dan hemat pangkal kaya”. Bagi mereka ucapan itu tak lebih dari sekedar ocehan bocah belaka. Amin dan Sanikem bahkan rajin bekerja dari pagi buta hingga petang tiba. Tapi itu semua tetap tak membuat mereka pandai, malah seringkali ditipu oleh tengkulak. Tak perlu repot-repot menghemat, penghasilan saja selalu tidak mencukupi. Dan ketika banyak orang rela, membuang waktunya hanya untuk acara debat politik. Mereka lebih memilih menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. Dan tetap seperti itu, hingga hari itu tiba.
Siang itu Amin dan Sanikem sedang melalukan kegiatan mereka seperti biasa. Rehat sejenak di pekarangan gubuk mereka, setelah bekerja di sawah dari pagi sampai siang. Dari kejauhan, tampak seorang pria paruh baya tengah berjalan di pematang sawah, menghampiri keduanya. Pria itu mengenakan baju dinas cokelat, khas pegawai negeri sipil. “Asalamulaikum” teriak pria itu dari kejauhan. “Walaikumsalam” jawab suami istri itu, sambil menghambur ke pria itu. “eh pak kades..ada apa pak?” tanya Amin kepada Pak kades. Pak kades pun dipersilahkan masuk oleh suami istri itu ke dalam gubuk reyot mereka. Segera setelah masuk, pak Kades kemudian membuka map dokumen yang ia jinjing sepanjang jalan tadi “ini bu, pak, berhubung beberapa hari kedepan pilkada, saya mau nawarin bapa ibu untuk ikut partisipasi”.
Dahi kedua suami istri itu berkerut, keduanya tak mengerti, “maksudnya gimana ya pak?” tanya Sanikem kepada Pak Kades. Sambil menggaruk kepala, pak kades mencoba menjelaskan “begini loh pa, bu, lusa itu ada kampanye dan kami butuh massa untuk meramaikan, jadi bapa dan ibu saya harap bisa ikutan kampanye, lumayan lah dapet uang saku”. Kedua suami istri itu kemudian saling memandang satu sama lain dan tampak bingung. Tapi, tawaran itu membuat adanya secercah harapan ditengah kehidupan mereka yang akhir-akhir ini sulit. Mengangguk dan setuju, Amin dan Sanikem diberikan uang sebesar seratus ribu rupiah dan kaos dengan wajah calon wali kota itu. Tak lama kemudian, Pak kades mengucap salam dan melangkah keluar dari gubuk reyot itu. Ia berjalan menuju beberapa rumah lain yang ada di desa itu.
Amin dan Sanikem mengucapkan syukur, hari ini mereka mendapatkan uang untuk membeli sembako. Sudah hampir dua hari keduanya tidak makan. Itu membuat tubuh Amin Jalalen kian hari kian menyusut. Ruas-ruas tulang rusuknya semakin menonjol, membuat siapapun yang melihatnya mengerti seberapa besar deritanya. Sanikem segera berangkat ke pasar, membeli bahan makanan untuk dimasak. Sementara Amin kembali duduk di pekarangan gubuknya, memandang hamparan sawah disekelilingnya. Hanya itulah hiburan yang dimiliki oleh kedua suami istri itu. Di saat-saat seperti itulah ingatan Amin jalalen melambung ke masa lima puluh tahun silam, ketika.....
Bersambung...
Hembus angin menerpa hijaunya hamparan sawah sejauh Amin memandang, ia sedang duduk di pekarangan gubuk reyotnya. Gubuk itu terletak di tengah lembah yang dikelilingi sawah. Terdengar bunyi gesekan bambu dan kayu, yang menghasilkan bunyi kreeet...kreeet... dari gubuk itu.
Di pekarangannya itu Amin terlihat sangat lelah, wajahnya kusut dan peluh mengucur hampir di sekujur tubuhnya yang kurus kering. Terdengar hembusan nafas yang berat, ia dibuat risau oleh harga panganan yang terus melonjak dan semakin tak karuan. Bagaimana tidak? profesinya sebagai petani yang ia lakoni sejak dulu, hanya bisa membuatnya kenyang selama seminggu dalam satu bulan. Sisanya, adalah hari-hari penuh pengharapan bersama istrinya. Jika sedang beruntung, ia bisa makan dari hasil upah istrinya sebagai buruh cuci. Tapi jika peruntungannya sedang buruk, Amin dan Sanikem harus memutar otak dan mengerahkan seluruh daya upaya mereka. Mencari apapun yang bisa mereka kerjakan demi sesuap nasi.
Pada saat yang berlainan, jauh dari gubuk reot itu. Di sebuah kota yang bernama Ruam. Sedang berlangsung debat antar calon wali kota. Mereka memperdebatkan program siapa yang paling baik untuk kota itu. Dari mulai sekolah gratis, transportasi gratis hingga sembako gratis, semua serba gratis. Keduanya mendaku sebagai yang paling baik. Perdebatan itu berlangsung hingga ke akar rumput dan berlangsung tak kalah sengitnya. Dari mulai pekerja, pedagang, hingga suami istri yang sedang menuju ke peraduan, persoalan itu tak henti-hentinya di perdebatkan. Seolah semua perlu untuk berkomentar. Seolah hidup mati mereka ditentukan oleh kotak suara itu. Amin Jalalen dan istrinya Sanikem yang tinggal di sebuah desa di kota itu, tidak sedikitpun mengetahui hiruk pikuk perpolitikan yang ada.
Mereka hanya tahu soal pilkada dari obrolan orang ketika lewat, atau dari atribut partai yang bertebaran di jalan-jalan. Alih-alih untuk membeli sebuah tv atau radio, makan lebih dari sekali sehari, sudah jadi kemewahan bagi mereka. Kini, ketika hingar bingar panggung politik di kota itu kembali menjadi buah bibir bagi masyarakat, Amin dan Sanikem tetap tidak peduli. Mereka ogah peduli terhadap hal-hal macam itu. Karena bagi Amin dan Sanikem urusan perut saja sudah membuat kepala mereka pusing. Waktu terlalu mahal buat mereka jika dimanfaatkan untuk hal seperti itu. Ada satu pepatah, “rajin pangkal pandai dan hemat pangkal kaya”. Bagi mereka ucapan itu tak lebih dari sekedar ocehan bocah belaka. Amin dan Sanikem bahkan rajin bekerja dari pagi buta hingga petang tiba. Tapi itu semua tetap tak membuat mereka pandai, malah seringkali ditipu oleh tengkulak. Tak perlu repot-repot menghemat, penghasilan saja selalu tidak mencukupi. Dan ketika banyak orang rela, membuang waktunya hanya untuk acara debat politik. Mereka lebih memilih menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. Dan tetap seperti itu, hingga hari itu tiba.
Siang itu Amin dan Sanikem sedang melalukan kegiatan mereka seperti biasa. Rehat sejenak di pekarangan gubuk mereka, setelah bekerja di sawah dari pagi sampai siang. Dari kejauhan, tampak seorang pria paruh baya tengah berjalan di pematang sawah, menghampiri keduanya. Pria itu mengenakan baju dinas cokelat, khas pegawai negeri sipil. “Asalamulaikum” teriak pria itu dari kejauhan. “Walaikumsalam” jawab suami istri itu, sambil menghambur ke pria itu. “eh pak kades..ada apa pak?” tanya Amin kepada Pak kades. Pak kades pun dipersilahkan masuk oleh suami istri itu ke dalam gubuk reyot mereka. Segera setelah masuk, pak Kades kemudian membuka map dokumen yang ia jinjing sepanjang jalan tadi “ini bu, pak, berhubung beberapa hari kedepan pilkada, saya mau nawarin bapa ibu untuk ikut partisipasi”.
Dahi kedua suami istri itu berkerut, keduanya tak mengerti, “maksudnya gimana ya pak?” tanya Sanikem kepada Pak Kades. Sambil menggaruk kepala, pak kades mencoba menjelaskan “begini loh pa, bu, lusa itu ada kampanye dan kami butuh massa untuk meramaikan, jadi bapa dan ibu saya harap bisa ikutan kampanye, lumayan lah dapet uang saku”. Kedua suami istri itu kemudian saling memandang satu sama lain dan tampak bingung. Tapi, tawaran itu membuat adanya secercah harapan ditengah kehidupan mereka yang akhir-akhir ini sulit. Mengangguk dan setuju, Amin dan Sanikem diberikan uang sebesar seratus ribu rupiah dan kaos dengan wajah calon wali kota itu. Tak lama kemudian, Pak kades mengucap salam dan melangkah keluar dari gubuk reyot itu. Ia berjalan menuju beberapa rumah lain yang ada di desa itu.
Amin dan Sanikem mengucapkan syukur, hari ini mereka mendapatkan uang untuk membeli sembako. Sudah hampir dua hari keduanya tidak makan. Itu membuat tubuh Amin Jalalen kian hari kian menyusut. Ruas-ruas tulang rusuknya semakin menonjol, membuat siapapun yang melihatnya mengerti seberapa besar deritanya. Sanikem segera berangkat ke pasar, membeli bahan makanan untuk dimasak. Sementara Amin kembali duduk di pekarangan gubuknya, memandang hamparan sawah disekelilingnya. Hanya itulah hiburan yang dimiliki oleh kedua suami istri itu. Di saat-saat seperti itulah ingatan Amin jalalen melambung ke masa lima puluh tahun silam, ketika.....
Bersambung...
Beri Komentar