Luka Lama (Bagian 1)
Oleh: Rinaldi Fitra Riandi, Ilmu Komunikasi 2015
Rumah berlantai
dua itu sepintas nampak biasa saja,
dengan
balutan cat kuning tua yang kian hari kian memudar warnanya, letaknya di ujung
timur Kota Bandung, Cibiru---Tempat
perbatasan antara kota dan kabupaten Bandung. Di seberangnya terdapat
jalan raya—termasuk Bunderan yang menjadi batas wilayah--- padat kendaraan menjadi
pemandangan sehari-hari, wilayah yang menjadi ‘jantung ekonomi’ Kota Bandung;
tempat mobilisasi penduduk yang hendak bermigrasi dari luar pulau Jawa Barat.
Tinggalah sebuah
keluarga disana; mereka
adalah keluarga Affandi yang telah menghuni rumah itu selama delapan tahun. Ia dengan istrinya,
Mariana dikaruniai dua orang anak laki-laki: Nugi serta si bungsu Dedi. Sang kakak
sudah bekerja di Bogor, kini hanya tersisa dirinya yang masih menetap bersama
ibu dan ayahnya.
Ia (Affandi),
semenjak pensiun sebagai Pegawai telekomunikasi BUMN ( Badan Usaha Milik
Negara) lantas membuka usaha warung dan rental komputer, sedang istrinya
hanyalah seorang guru honorer Sekolah Dasar (SD) di kawasan Ujung Berung. Putra
bungsu-nya, Dedi saat ini menginjak kelas tiga SMA di kawasan
ciwastra.
Pagi cerah
disambut siulan burung-burung kenari,udara sejuk berhembus ke tiap sudut-sudut
pemukiman. Istri serta putra bungsunya tengah bersiap melakukan akitivitas
rutinnya; ia tengah membuka tralis besi dilanjutkan dengan pintu rental
komputer.
“Yah, ibu sama
dedi berangkat dulu” Ucap ibu sambil menaiki sepeda motor yang ditunggangi oleh
anaknya. “Iya, kalian hati-hati dijalan.’Kamu jangan ngebut-ngebut bawa
motornya” ujar Affandi. “ Oke siap yah” Balas Dedi. Sepeda motor melaju
perlahan meninggalkan Affandi yang melambaikan tangan, lalu ia pun kembali ke
tempat usahanya untuk sekedar membersihkan kaca etalase dan ubin-ubin
sekelilingnya. Setelah bersih,
ia
duduk di kursi goyang kesayangannya lalu dengan santai meraih surat kabar di
meja dekat kaca etalase.
Tak berselang
lama ketua dewan warga, Pak sodik datang dengan sepeda motor jadulnya. Ia pun
menyambut tamunya tersebut “Oalah Pak Sodik, tumben pagi-pagi udah mampir” sambut Affandi. “Ini kebetulan
lewat aja pak, sekalian
mampir” balasnya.
Ia pun menawarkan secangkir kopi, cekatan ia bergegas mengambil termos serta
kopi sachet yang menggantung di pinggiran tralis besi. “Ini pak biar afdol kita ngopi dulu” pungkasnya, “aduh
saya jadi ngerpotin nih pak”
balasnya
sembari tertawa memegang kumis tebalnya.
Affandi melihat map berwarna biru yang di pegang oleh
tamu-nya itu, “Ngomong-ngomong,
bapak
bawa apa tuh?” tanya Affandi.
“Anu
pak, jadi gini. Kemarin ada orang-orang humas PT.Supertmart datang mau bikin
Minimarket yang lumayan besar disini” ujarnya. Ia penasaran terhadap rencana
pembangunan itu seraya bertanya kembali “Dimana itu lokasinya pak?” tanyanya. “ Itu
sebelah rumah bapak” ujarnya sambil
menunjuk bangunan tua yang tidak terpakai tersbut. Dengan terkejut mendengar
jawaban itu ia menanggapi agak serius pernyataannya.
“Lho??? ...rumah
itu kan gak
ada ahli waris nya pak. Lagian kalo dibangun pun bakal banyak yang dirugikan, warung
dan kroto-kroto kecil sekitarnya” kata Affandi. “Lhaha, tenang
aja pak, sudah diatur jatahnya kok. Kalau bapak sama pak sopyan gak setuju ini
gak bisa di bangun” Tangkasnya --- Izin paing menentukan ialah penduduk lokasi
terdekat dengan tempat pembangunan.
“Aduh.... Mohon
maaf pak saya kurang setuju dengan pembangunan ini” pungkas Affandi. Sembari
menyeruput kopi hitam, pak sodik membujuk kembali ‘Sssssruuup ahh’ “Jangan begitu dong pak, ini fulusnya gede, masa
rezeki ditolak”. Ia mempertegas pernyataannya tersebut “Tetep!! , saya gak
menghendaki berdirinya minimarket itu”. Merasa tidak puas dengan jawaban yang
diberikan, Ketua dewan warga itu geram dan berkata “Heh!! ... Saya Dewannya
disini, bapak harus nurut sama perintah saya! Yasudah kalo tidak setuju, tau sendiri akibatnya!!” sembari jalan menuju kendaraannya dengan tatapan sinis
kepada Affandi.
‘Bremmmngggggg!!’
suara kendaraan yang bising serta sekali tancap gas dewan warga itu
meninggalkan warung milik Affandi. Ia termenung dan sesekali mengelus dada
serta wajahnya. Pagi berganti siang, roda waktu kehidupan terus bergulir cepat, ia menutup warung serta rental komputer---karena terguncang batin-nya---lalu
memutuskan beristirahat diranjang empuknya.
Jarum jam
menunjukan pukul tiga tepat, istri dan putra bungsunya sudah menepi dirumah
langsung membuka pintu. “Assalamualaikum, yah. Ibu sama Dedi udah pulang nih”
Ujar Mariana, ia terbangun dari peraduannya lalu menghampiri mereka. “wa’alaikumsalam, eh ibu sama Dedi udah pada pulang ternyata.” Istrinya merasa
keheranan lantas bertanya “Yah, kenapa warnet sama warungnya tutup?”. Affandi
menjawab dengan tenang untuk menutupi kegetirannya, “Ayah sedang tidak enak
badan bu, jadi tutup dulu untuk hari ini.”
Sementara itu
Dedi bergegas ke kamarnya untuk berganti pakaian dan berisitirahat, istrinya
hanya mengangguk dan berjalan ke dapur untuk memasak hidangan makan malam. Ia
kembali kekamarnya melanjutkan tulisan di catatan kecilnya , suasana rumah
menjadi sepi yang ada hanya bunyi
lonceng kecil yang menggantung di didepan pintu rumah bergerak ke kanan ke kiri
mengikuti arah angin membawa.
Rona senja
memukau kilaunya di sela-sela petang menjelang gelap sampai matahari terbenam
di ufuk barat, hingga malam pun datang menyapa. Keluarga Affandi tengah siap
untuk bersantap malam, istrinya menyajikan hidangan diatas meja kayu berhias
ukiran klasik, hidangan telah tersaji masing-masing memanjatkan doa sebelum
makan malam berlangsung.
Bersambung...
Beri Komentar