Header Ads

Tidak Ada Keadilan bagi si Miskin (bag 2)



Senin, tepatnya siang hari sebelum perjalanan Roy mengembalikan dompet. Di Perumahan Majapahit, seorang remaja berumur belasan tahun sedang mengamen dari rumah ke rumah. Ia berambut mohawk, serta menggunakan jaket dan celana jeans biru muda. Suaranya serak, dan sumbang, ia menyanyikan lagu pop yang sedang menjadi trend saat itu. 

Jalannya agak sempoyongan, dan matanya terlihat sedikit merah, jika didekati tercium bau lem aibon. Seseorang yang hidup di zaman pemerintahan presiden SBY pasti sudah mengetahui, bahwa anak-anak yang hidup di jalanan sering menghirup lem aibon. Hal inilah yang juga dilakukan oleh remaja pengamen ini, sebelum berangkat mengamen ia menyemapatkan diri untuk menghirup lem aibon yang ia beli hasil dari mengamen sehari sebelumnya.

Pada sebuah rumah ukuran sedang tanpa pagar didepannya, ia berhenti. Dilihatnya kaos warna hitam bergambar grup band yang sedang menjadi trend. Kaos itu tergantung bersama baju lain yang sedang dijemur. Dalam hitungan detik ia berjalan mendekati jemuran itu, sambil menoleh ke kiri dan kanan, ia dengan cepat mengambil kaos grup band itu.

Namun sialnya pada saat hendak menyisipkan kaos itu ke bagian depan celananya, seorang pria keluar dari rumah itu. Pria itu menggunakan baju seragam aparat, hendak berangkat ke kantornya yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Kaget, pria itu menatap pengamen itu, ia kemudian berteriak “hoi! mau apa kamu ?!.” Si pengamen itu kaget dan kabur, ia berlari sekencang mungkin sambil diiringi makian pria itu “hoi! anjing kamu! maling cari mati!” pria itu tak sanggup mengejar pengamen itu yang lari berbelok ke arah gang-gang yang ada di belakang perumahan itu.

Pada gang-gang itu terdapat rumah-rumah semi permanen warga miskin yang menggangtungkan nasibnya di jalanan. Dan di sebuah rumah yang lebih besar dibanding rumah lainnya, Roy tinggal bersama 20 saudaranya yang berasal dari jalanan. Rumah itu berada dekat sebuah belokan yang mengarah pada jalan raya.

Dan disitulah, pengamen itu beristirahat sejenak sambil memastikan pria itu tidak mengejarnya lagi. “Anjing! sialan! ampir aja,” ia mengumpat sambil memegang lutut dan membungkuk. Dilihatnya kaos grup band itu, ia tersenyum senang karena barang curiannya kini menjadi miliknya. Kemudian ia berjalan, menyeberang jalan dan menaiki sebuah angkot jurusan Stasion-Nanjung. Ia bukanlah penduduk di gang-gang itu, rumahnya adalah jalanan. Ia berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya sekehendak hatinya.

Oleh: Ilyas Gautama

Tidak ada komentar