Header Ads

Pemira Bukan Seremonial Politik, Bung!



Opini, Khairul -- Nuansa civitas akademik FISIP Unpas semakin menarik melihat dinamika politik seperti magnet yang saling tarik menarik. Belakangan ini parpol kampus dan mahasiswa seolah tersentral pada apa yang dinamakan politik. Itu menjadikan beberapa di antara kita kian matang secara empirik dalam memahami realitas sosial. Ketika kita dihadapkan pada periodisasi politik kampus, berharap bahwa ini bukan seremonial yang berulang tanpa arah dan tujuan.

Mahasiswa bukan hanya sebagai objek dalam proses politik yang ditandai sebagai floating mass. Mereka justru bagian subjek, yang diyakini sudah cukup mapan pula untuk beraktualisasi didalamnya. Mereka pun juga bukan segmen pasar yang pantas untuk dieksploitasi demi kepentingan politik, karena marwah ilmiah dan rasional selalu melekat padanya. Tentu sikap yang diambil bukan lagi warna-warni yang abu. Keabu-abuan justru akan menstimulasi sejumlah kelompok kepada alternatif-alternatif yang kurang tepat.


Di momentum Pemira (Pemilihan Umum Raya) seperti ini, partai politik kampus sebagai infrastruktur (middle class) menjadi penghubung mahasiswa menuju suprastruktur (kelembagaan kampus). Ini adalah miniatur sistem kenegaraan yang dielaborasi pada sistem tata-kelola lembaga kemahasiswaan FISIP Unpas. Pada pesta demokrasi ini pula, euforia politik begitu terasa. Banyak wacana politik yang dilontarkan dan ditawarkan partai politik melalui kandidat atau delegasi partai yang bakal menduduki lembaga legislatif dan ekskutif. Namun sayangnya situasi seperti ini terjadi sangat singkat. Kegaduhan, riuh-rendah, serta duel wacana politik, terkadang hanya selesai di momentum pemilihan saja. Tidak ada kontrol dan edukasi politik yang sustainable dan simultan pasca-pemira, begitu pun pra-pemira. Seperti ada proses politik yang loncat dari pada hierarkinya.


Hal demikian tentunya berdampak pada tingkat partisipasi mahasiswa dalam aktualisasi teori ruang kelas di kelembagaan kampus. Partai politik yang hanya bergerak jelang Pemira, malah akan melahirkan mahasiswa yang menyuarakan suaranya namun lepas dari busurnya, hanya mengkritik tapi tak ikut serta dalam berbenah. Mereka dengan lantang bersuara tapi tidak tahu salurannya. Bagaimana bisa membangunkan mahasiswa yang tertidur untuk berbenah di rumah sendiri? Terkadang celotehan hanya berujung pada sikap apolitis yang tak berkhasiat. Ini bukan cuap-cuap burung gereja disaat fajar, karena khalayak umum pun bisa melakukan proses yang demikian. Lalu dimana letak "maha" atas "siswanya"?


Momentum demokrasi ini adalah pertarungan wacana atau gagasan progresif yang ideal antara aku, kamu, kalian dan mereka yang berstatus mahasiswa. Berharap gagasan atau wacana ini tak berhenti dalam alam ide, karena kita bukan bangsa utopian. Semangat konstruksi harus tetap tertanam sejak di alam ide dan diformulasikan dalam tindak-tanduk yang konkret. Kita bukan buih di lautan, karena kedaulatan ada di pundak kita bersama, kewajiban dan hak selalu berpadu.


Maka jika ingin membangun dan berbenah dirumah sendiri, harus melibatkan semua komponen yang berstatus mahasiswa tanpa dipolitisasi oknum dosen maupun birokrat kampus. Jika semua komponen terlibat, wacana atau gagasan murni dan fair akan menghasilkan input dan ouput yang jelas bagi mahasiswa dalam mengarungi dunia akademis, sesuai cita-cita Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berwujud pendidikan, penelitian-pengembangan dan pengabdian masyarakat.


Peran partai politik harus di-revitalisasi sebagaimana fungsi dan perannya dalam edukasi dan kontrol politik pra-pemira dan pasca-pemira, sehingga tidak ada lagi kesan pembodahan dalam prosesnya. Partai harus sadar akan hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Wacana atau gagasan harus direalisasikan secara serius, agar tidak terkesan hangat dan menguap begitu saja. Tentunya hal ini dapat dilakukan oleh pemangku kebijakan atau elite-elite lembaga yang telah diamanahkan sebagai representasi mahasiswa.


Boleh lah, partai politik saat ini sudah cukup mewadahi mahasiswa untuk beraktualisasi. Tapi, peranan tidak boleh sebatas rekrutmen saja. Parpol kita mesti mewujudkan harapan mahasiswa dalam fungsi komunikasi politik, pendidikan politik, agregasi politik, dan kontrol politik. Jika semua fungsi dijalankan, maka bukan tidak mungkin mahasiswa FISIP Unpas akan menjadi sekumpulan orang terdidik yang mau bergerak tidak hanya bersuara, mereka yang berbeda dengan khalayak umum. 


Orang terdidik dan baik, adalah orang yang bisa mempertanggungjawabkan apa yang disuarakannya. Mereka akan merasa anti terhadap kedzaliman. Dari sini tepatlah kekhawatiran Anies Baswedan tentang kaum terdidik. “Orang-orang baik tumbang bukan karena banyaknya orang jahat, melainkan karena banyaknya orang baik yang diam dan mendiamkan.” Ayo, nyaringkan suaramu dengan lantang dan tandaskan gerakanmu. Lambat tertinggal, diam tertindas, berhenti mati!
 

M. Khairul Afif
Hubungan Internasional 2013

Tidak ada komentar