Sebuah Refleksi: Belenggu Kepemimpinan Presiden dan Apatisme Mahasiswa
Setelah berakhirnya pemilu 2014 dan dilantiknya kepemimpinan baru, kita dihadapkan pada
berbagai dinamika politik dan polemik
progress kerja lembaga eksekutif. Pasalnya, dalam era rezim ini para
pejabat dari kalangan birokrat tak henti-hentinya bermanuver hingga mengambil side-job sebagai penguasa media
informasi. Saling sikut dan hantam terjadi di seluruh elemen politik, lemahnya pengawasan
dan tindakan Presiden semakin memperlonggar intervensi dari berbagai pihak,
sehingga muncul berbagai kegaduhan politik. Belenggu kepemimpinan pun terjadi,
terhambatnya manuver presiden dan tersanderanya gerak kepemimpinan serta adanya
dwi tanggung jawab terhadap partai dan rakyat.
Aksi-aksi
mahasiswa dalam pembelaan terhadap hak-hak rakyat dan sebagai kaum
“pembangkang” kian melemah, padahal dalam era orde baru, sosok bertangan besi seperti
Soeharto mampu ditumbangkan dengan sistem pemerintahan otoritariannya.
Mahasiswa sekarang cenderung berfikiran dan bersifat individualistik, hedonis, dan
apatis. Tidak kah kita merasa sadar bahwa di luar sana seluruh rakyat yang
mengalami ketertindasan menaruh berjuta harapan kepada jiwa muda seperti kita?
Di mana letak militansi mahasiswa? Sungguh kesempatan yang sia-sia di era
demokrasi ini suara-suara mahasiswa kian terbungkam sehingga kita hanya menjadi
budak para elit politik di luar sana. Organisasi internal kampus pun tidak menjamin
untuk menyalurkan berbagai aspirasi mahasiswa, mereka hanya sibuk mengurusi kepentingan
acara mereka dan melakukan pemilihan kader-kadernya saja, dan bukti konkrit terjadi
di Universitas penulis. Tentu ini sebuah pukulan mundur untuk kaum progresif,
tercerainya solidaritas membuat berbagai aspirasi hanya sebuah ucapan kosong.
Korelasi
dari semua ini hanya akan melahirkan pemerintahan yang abnormal, hasil dari blow up-an media, dan tak ada penilaian
yang bersih. Status presiden hanya sebagai pelengkap dari pemimpin-pemimpin
lain dimana hak kepemimpinannya disetir oleh mulai dari bawahannya (para
menteri) hingga sang pemegang kekuasaan partai. Maka tak hayal dapat dikatakan
status pemimpin sekarang yang multi-pilot.
Apakah nawa cita akan terealisasi sepenuhnya untuk kepentingan rakyat dan mengabaikan
kepentingan partainya? Lalu kemana sumpah mahasiswa yang berisi tentang memperjuangkan
kesejahteraan rakyat bersama-sama? Silahkan untuk anda jawab.
Try Anggara Putra
Hubungan Internasional
2015
Beri Komentar