Header Ads

Menuntut Negara atas Pelanggaran HAM Berat 1965

Opini, BPPM -- Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal 1965) adalah pengadilan publik untuk menuntut Indonesia bertanggung jawab dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi pada tahun 1965/1966 dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Pengadilan ini dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari tanggal 10 sampai 13 November 2015 dan pembacaan putusan akan dilaksanakan di Jenewa, Swiss satu tahun setelah persidangan.

Pada hari pertama, Selasa (10/11/2015), IPT membahas mengenai Pembantaian Masal dan Perbudakan yang terjadi pada tahun 1965. Dalam kesempatan itu, para korban (penyintas) memberikan kesaksian di hadapan hakim atas apa yang mereka alami. Korban-korban itu adalah mereka yang juga menjadi saksi dalam laporan yang disusun Komnas HAM pada tahun 2012.
sumber: VOAIndonesia

Selain korban, dihadirkan pula saksi ahli, yaitu Prof. Asvi Warman Adam, sejarawan senior Indonesia dari Pusat Penelitian Politik LIPI. Sebelum mulai memberikan kesaksian, beliau mengawalinya dengan memberikan pernyataan “Kehadiran Saya disini bukan untuk menjelek-jelekan pemerintah Indonesia, saya tidak akan pernah berkhianat kepada bangsa dan Negara . Apa yang saya sampaikan merupakan hasil penelitian dari Komnas HAM..”.

Kesimpulan dari kesaksian Prof. Asvi Warman adalah, bahwa kasus Pulau Buru merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang paling nyata dan kongkrit.  Lebih dari 10 ribu orang dipenjara dan dibuang ke Pulau Buru tanpa melalui proses persidangan dan diwajibkan melakukan kerja paksa dari 1969 sampai 1979, mereka yang dibuang ke pulau terpencil di bagian timur Indonesia itu adalah orang-orang yang dikategorikan sebagai tahanan politik (Tapol) golongan B.

Kejahatan kemanusiaan ini terjadi secara sistematis, jelas siapa pelakunya, yaitu Negara, dalam hal ini militer. Pembuangan para tapol itu dilaksanakan dibawah intruksi Penglima Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Presiden (Soeharto). Dan jelas pula siapa korbannya, para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) juga orang-orang yang di tuduh berafiliasi dengan PKI, namun pada kenyataannya, orang-orang yang di buang ke Pulau Buru bukan hanya mereka yang diduga orang-orang ‘komunis’, tapi siapa saja yang di nilai membahayakan kekuasaan Orde Baru. Pramoedya Anata Toer, yang kita kenal sebagai sastrawan besar Indonesia ini pun pernah menjadi salah-satu orang yang di buang ke Pulau Buru.

Kasus Pulau Buru adalah satu dari banyaknya catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan rezim orde baru pada saat masih berkuasa. Beberapa ahli bahkan menyebut tragedi 1965/1966 merupakan sebuah Genosida Politk, karena bertujuan untuk memusnahkan suatu golongan tertentu. Sampai hari ini, Negara masih enggan untuk mengakui keterlibatannya dalam peristiwa tersebut walaupun telah banyak bukti dan beberapa dokumen rahasia  yang saat ini bisa kita akses dengan mudah. Juga seperi yang kita ketahui, hasil dari penyelidikan Komnas HAM pun di tolak oleh Kejaksaan Agung.

Sampai dengan hari ini, 50 tahun setelah tragedi berdarah itu. Masih banyak pihak-pihak yang terus memperkeruh upaya pengungkapan kebenaran, proses rekonsiliasi dan rehabilitasi para korban. Pembubaran diskusi bertema peristiwa 65, sensor dan pembredelan media, dan teror juga ancaman bagi siapapun yang hendak membawa wacana ini diruang publik, sekalipun dalam koridor akademik.
Tujuan dari digelarnya IPT ini sendiri bukan untuk mendakwa seseorang secara formal-yuridis atas kejahatan yang dilakukan, namun menuntut Negara untuk menyelesakan proses yuridis tragedi pembantaian masal 1965/1966.





Rifqi Fadhlurrakhman
HI 2012

Tidak ada komentar