Tanah Pusaka
Semacam laut yang memiliki pantai. Tanah-tanah alami abrasi. Cekam gelombang. Menggerus bibir-bibir pantai. Memperluas jangkauan. Laut yang kau huni seperti bukan benda mati. Mendatangimu tanpa bisa ditunda-tunda. Menampar tengkukmu. Hingga seakan lepas dari ubun-ubun. Tubuh besarmu tiba-tiba terasa tambun. Setelah sekian lama kau mengusilinya. Menggelitiknya. Dan mencubitnya.
Barangkali kami makin lupa leluhur. Cerita-cerita yang membesarkanmu kau tuding beling yang tanpa kerling. Seolah-olah sekedar dongeng yang tak absah diasah. Tanah-tanah yang di dalamnya tertuang darah doa-doa. Makin ke pinggir kau bikin sumir. Nyinyir bau anyir.
Apa mungkin kau juga lupa. Di belakangmu itu. Anak-anak cucumu. Makan apa esok hari. Berteduh kemana mereka. Tak terpikirkah. Mereka bakal menjadi orang-orang yang lusuh. Berkelayapan di jalan-jalan. Mencari sesuap nasi. Mencari aman dari hujan dan kemarau. Sebagaimana kemarau yang susah berkesudahan nenek moyang ratusan tahun lampau.
Oh. Janganlah kau bertekad memalingkan muka. Betapa panjang duka-nestapa tanah pusaka sebelum dirimu lahir. Berbekal tombak, keris, golok, curit hingga senapan hasil rampasan. Menantang maut. Yang berjejal rudal, bom hingga meriam. Dari darat maupun udara. Rawe-rawe rantas malang-malang tuntas. Seusai moyangmu ngalah, ngalih kemudian ngamuk. Bumi hangus.
Serupa sosok ibu. Begitulah moyang enggan tangan cuma dipangku. Seribu mesiu. Gelegak tirani. Yang diingat hanyalah engkau. Diriku ini. Anak-anak cucu. Yang mengecap tanah pusaka. Berabad-abad kemudian.
Oh. Bagaimana caranya lupa. Dan bagaimana caranya ingat?
Ardhi Akbar, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan 2014
Aku cinta Indonesia via www.chapter3d.com |
Beri Komentar