Propaganda Amatiran dan Remeh-Temeh Jelang Pemira
Opini, Rifqi -- Hari Selasa tanggal 4 April kemarin, di berbagai pojok keramaian kampus bertebaran flyer yang memuat foto ketua KPUM FISIP, Fareza Havid bersama beberapa pria yang sepertinya terlihat tampan, namun sayang karena selebaran tesebut telah di fotocopy puluhan kali dan resolusi foto yang dimuat sangat buruk, muka mereka tidak terlihat jelas, bahkan muka Fareza sendiri terlihat samar.
Selebaran itu memuat narasi tentang Ketua KPUM terpilih yang sedang berkonsolidasi bersama beberapa anggota BPPM dan Partai intern kampus, hal itu dinilai menodai integritas KPUM sekaligus mempertanyakan netralitas BPPM karena melakukan pertemuan dengan salah-satu kader partai kampus.
Dalam tulisan singkat ini, saya akan mencoba mengungkap identitas para pria misterius yang melakukan pertemuan dengan Ketua KPUM terpilih, dalam foto itu terlihat enam kepala dengan postur tubuh yang beragam. Tidak perlu menggunakan piranti komputer yang canggih untuk mengalisis keaslian foto atau identitas orang-orang yang ada di foto tersebut, Roy Suryo pun tahu itu.
Malam pada saat foto itu diambil, saya tahu betul keberadaan Ketua KPUM FISIP pada hari dan jam yang sama seperti yang tertera dalam selebaran karena saya kebetulan sedang bersama Fareza tepat pada saat itu, ya! Ikut dalam pertemuan itu, disitu hadir pula Rizal dan Fajar (Anggota BPPM), Riski (IK 13) dan Yudha (HI 13), namun pertemuan itu bukan merupakan acara bincang-bincang politik atau bahkan konsolidasi seperti yang tertera dalam selebaran, walaupun server Dota, orientasi seksual, keyakinan spiritual, hobi dan gaya rambut kami berbeda, hubungan diantara kami adalah kawan sepermainan, kemesraan yang tertangkap kamera itu adalah kemesraan sebagai kawan-tidak lebih.
Kami sudah berkawan jauh sebelum Ridwan Kamil membuat taman dengan rumput plastik. Kita menamakannya nongkrong, istilah pertemuan terlalu dewasa untuk kita yang terlihat remaja.
Seperti yang kita ketahui, nongkrong sudah menjadi keseharian manusia, bahkan kera dan banyak mamalia lainnya, seperti kumpulan anak nongkrong yang setiap hari bisa kita lihat ngampar di koridor, piknik di lobby dan sudut-sudut terang kampus lainnya bak etalase. Mungkin memang selalu ada orang-orang yang ingin tahu apa dibicarakan oleh kerumunan itu, seperti halnya apa yang kami bicarakan kami pada malam itu sampai-sampai harus muncul gossip murahan yang dibuat orang udik berbentuk selebaran itu muncul.
Selebaran Gelap Sebagai Propaganda Politik atau Sampah Visual
Kemunculan selebaran itu memicu kontroversi di dunia persilatan, silat lidah tentunya. Ada yang menanggapinya dengan serius dan ada pula yang menganggapnya sampah, setelah kawan-kawan dari CLBK 68 melakukan survei singkat ternyata lebih banyak yang menganggapnya sampah. Selebaran itu memang di gunakan sebagai alat propaganda politik yang dibuat oleh pihak tertentu atau dari partai intern kampus untuk menghangatkan suhu politik menjelang Pemira yang juga berpretensi untuk menggoyang posisi Ketua KPUM, bahkan bisa pula di jadikan kanon bagi pihak-pihak tertentu pasca-pemira yang merasa dirugikan untuk marah-marah dengan bermodal prasangka ketidak-netralan KPUM dan menjadikan foto itu sebagai bukti.
Sayangnya, selebaran itu gagal memancing tanggapan yang kritis dari mahasiswa lainnya, karena memang selebaran tersebut sangat mentah, bahkan tidak cukup keren untuk dikatakan sebagai propaganda politik jika dilihat dari konten yang mentah, pengemasan yang udik dan narasi yang buruk.
Dalam politik elektoral, Negative Campaign dan Black Campaign memang merupakan salah-satu strategi, tujuannya adalah melempar opini dan praduga menjadi sebuah berita, seakan-akan berita itu valid dan benar adanya, dengan menggunakan berbagai medium, mulai dari media sosial, elektronik, cetak sampai dari mulut ke mulut. Kemajuan teknologi informasi dan daya kritis masyarakat hari ini membuat banyak konsultan politik dan litbang partai politik memutar otak agar bagaimana propaganda politik mereka melebihi daya serap informasi masyarakat.
Propaganda politik selalu bisa beradaptasi dengan perkembangan dunia informasi, mulai dari kemunculan mesin percetakan sampai microblog yang hanya memuat 140 karakter, jika dahulu sensitivitas konten menjadi yang utama, hari ini tuntutan visualisasi lebih diprioritaskan, karena yang terpenting adalah bagaimana publik meliriknya terlebih dahulu.
Yang mengenaskan dari kasus selebaran tersebut adalah ketertinggalan partai politik kampus dari kemajuan peradaban berpolitik diluar sana, tentu yang saya maksud adalah politik elektoral tersebut sering bolos workshop, dia memfantasikan masyarakat FISIP yang sangat politis, propaganda sekecil atau bahkan seburuk selebaran yang dibuatnya itu bisa menjadi trigger bagi penciptaan opini publik. Nyatanya, gagal besar! selebaran yang dimaksudkan sebagai alat propaganda politis berakhir menjadi sampah visual yang sangat udik. Dalam politik elektoral, curang adalah sebuah keharusan, namun cara curang itu sendiri harus mempunyai kualitas yang baik.
Politik elektoral sama halnya dengan memasarkan produk kecantikan, untuk bisa laku keras di pasaran, perusahaan harus bisa mengemas citra dengan secantik mungkin, kualitas bukan hal utama, sama halnya seperti partai-partai politik di kampus, namun mereka gagal dalam mengemas citra dengan canggih karena kebodohan-kebodohan maha degil para elit parpol itu sendiri.
Belum lagi berbagai keborokan Partai mulai terkelupas, terbongkarnya kasus kontrol postingan media sosial salah-satu LKm, lebih tepatnya salah-satu HMJ oleh tetua partai dimana Ketum HMJ itu berasal (informasi ini masih dalam investigasi lebih lanjut), hal itu jauh lebih remeh dibanding skandal HIMA HI yang melakukan tindakan tidak terpuji dalam penyeleksian paper pada sebuah kegiatan dan merugikan banyak mahasiswa HI beberapa bulan lalu. Masih banyak contoh lainnya dari kegagalan pemira dan sistem politik kemahasiswaan yang saat ini berjalan untuk membentuk sebuah sistem politik yang dikatakan baik dan pimpinan LKm yang berintegritas, yang terjadi malah sebaliknya yaitu sistem yang koruptif.
Respon LKm atas Sampah dan Respon atas Permasalahan Kongkrit
Keprihatinan tidak terhenti pada ulah LKm yang di kuasai partai saja, DPM dan LKm lainnya misalnya, lembaga-lembaga itu menanggapi selebaran sampah yang bertebaran dikampus dengan sangat serius, sampai Ketua KPUM terpilih di panggil untuk melakukan klarifikasi, ketanggapan mereka merespon gossip jauh lebih cepat daripada merespon kebijakan Kampus yang patut di pertanyakan, misalnya 8 jatah Beasiswa yang diberikan kepada Ketua LKm yang dirasa mahasiswa lainnya bermasalah tidak DPM respon dengan kritis.
Banyak kebijakan kampus yang menguji kewarasan dan kekritisan mahasiswa, namun DPM seperti lebih senang menanggapi hal remeh-temeh, seperti ibu-ibu arisan bergosip. Hal ini terulang setiap tahun sejak pertama kali sistem politik kampus dengan pemira sistem multipartai di terapkan, entah hal seperti ini berulang sampai kapan. Lantas, apakah masih bisa mengharapkan kerja dari LKm yang di duduki partai politik kampus? Wallahu A’lam Bishawab, namun saya rasa tidak, jika rasionalitas kita masih terpelihara dengan baik. Kita membutuhkan sistem lain, sebuah alternatif.
Jika sebelum atau sesudah pemira terjadi semacam keributan yang di provokasi oleh pihak-pihak tertentu atau bahkan oleh partai peserta pemira dan menyalahkan KPUM bertindak tidak netral dengan hanya bermodalkan selebaran sampah yang beredar liar minggu lalu, saya rasa kita semua yang masih merawat akal sehat agar tetap sehat akan mengetahui dengan mudah siapa yang sedang tidak sehat. Karena dalam Pemira FISIP tidak ada Bawaslu, DPM dan BEM harus memberikan jaminan keamanan bagi berlangsungnya Pemira dan KPUM.
Rifqi Fadhlurrakhman
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional 2012
Editor CSS Journal
Selebaran itu memuat narasi tentang Ketua KPUM terpilih yang sedang berkonsolidasi bersama beberapa anggota BPPM dan Partai intern kampus, hal itu dinilai menodai integritas KPUM sekaligus mempertanyakan netralitas BPPM karena melakukan pertemuan dengan salah-satu kader partai kampus.
Dalam tulisan singkat ini, saya akan mencoba mengungkap identitas para pria misterius yang melakukan pertemuan dengan Ketua KPUM terpilih, dalam foto itu terlihat enam kepala dengan postur tubuh yang beragam. Tidak perlu menggunakan piranti komputer yang canggih untuk mengalisis keaslian foto atau identitas orang-orang yang ada di foto tersebut, Roy Suryo pun tahu itu.
Malam pada saat foto itu diambil, saya tahu betul keberadaan Ketua KPUM FISIP pada hari dan jam yang sama seperti yang tertera dalam selebaran karena saya kebetulan sedang bersama Fareza tepat pada saat itu, ya! Ikut dalam pertemuan itu, disitu hadir pula Rizal dan Fajar (Anggota BPPM), Riski (IK 13) dan Yudha (HI 13), namun pertemuan itu bukan merupakan acara bincang-bincang politik atau bahkan konsolidasi seperti yang tertera dalam selebaran, walaupun server Dota, orientasi seksual, keyakinan spiritual, hobi dan gaya rambut kami berbeda, hubungan diantara kami adalah kawan sepermainan, kemesraan yang tertangkap kamera itu adalah kemesraan sebagai kawan-tidak lebih.
Kami sudah berkawan jauh sebelum Ridwan Kamil membuat taman dengan rumput plastik. Kita menamakannya nongkrong, istilah pertemuan terlalu dewasa untuk kita yang terlihat remaja.
Seperti yang kita ketahui, nongkrong sudah menjadi keseharian manusia, bahkan kera dan banyak mamalia lainnya, seperti kumpulan anak nongkrong yang setiap hari bisa kita lihat ngampar di koridor, piknik di lobby dan sudut-sudut terang kampus lainnya bak etalase. Mungkin memang selalu ada orang-orang yang ingin tahu apa dibicarakan oleh kerumunan itu, seperti halnya apa yang kami bicarakan kami pada malam itu sampai-sampai harus muncul gossip murahan yang dibuat orang udik berbentuk selebaran itu muncul.
Selebaran Gelap Sebagai Propaganda Politik atau Sampah Visual
Kemunculan selebaran itu memicu kontroversi di dunia persilatan, silat lidah tentunya. Ada yang menanggapinya dengan serius dan ada pula yang menganggapnya sampah, setelah kawan-kawan dari CLBK 68 melakukan survei singkat ternyata lebih banyak yang menganggapnya sampah. Selebaran itu memang di gunakan sebagai alat propaganda politik yang dibuat oleh pihak tertentu atau dari partai intern kampus untuk menghangatkan suhu politik menjelang Pemira yang juga berpretensi untuk menggoyang posisi Ketua KPUM, bahkan bisa pula di jadikan kanon bagi pihak-pihak tertentu pasca-pemira yang merasa dirugikan untuk marah-marah dengan bermodal prasangka ketidak-netralan KPUM dan menjadikan foto itu sebagai bukti.
Sayangnya, selebaran itu gagal memancing tanggapan yang kritis dari mahasiswa lainnya, karena memang selebaran tersebut sangat mentah, bahkan tidak cukup keren untuk dikatakan sebagai propaganda politik jika dilihat dari konten yang mentah, pengemasan yang udik dan narasi yang buruk.
Dalam politik elektoral, Negative Campaign dan Black Campaign memang merupakan salah-satu strategi, tujuannya adalah melempar opini dan praduga menjadi sebuah berita, seakan-akan berita itu valid dan benar adanya, dengan menggunakan berbagai medium, mulai dari media sosial, elektronik, cetak sampai dari mulut ke mulut. Kemajuan teknologi informasi dan daya kritis masyarakat hari ini membuat banyak konsultan politik dan litbang partai politik memutar otak agar bagaimana propaganda politik mereka melebihi daya serap informasi masyarakat.
Propaganda politik selalu bisa beradaptasi dengan perkembangan dunia informasi, mulai dari kemunculan mesin percetakan sampai microblog yang hanya memuat 140 karakter, jika dahulu sensitivitas konten menjadi yang utama, hari ini tuntutan visualisasi lebih diprioritaskan, karena yang terpenting adalah bagaimana publik meliriknya terlebih dahulu.
Yang mengenaskan dari kasus selebaran tersebut adalah ketertinggalan partai politik kampus dari kemajuan peradaban berpolitik diluar sana, tentu yang saya maksud adalah politik elektoral tersebut sering bolos workshop, dia memfantasikan masyarakat FISIP yang sangat politis, propaganda sekecil atau bahkan seburuk selebaran yang dibuatnya itu bisa menjadi trigger bagi penciptaan opini publik. Nyatanya, gagal besar! selebaran yang dimaksudkan sebagai alat propaganda politis berakhir menjadi sampah visual yang sangat udik. Dalam politik elektoral, curang adalah sebuah keharusan, namun cara curang itu sendiri harus mempunyai kualitas yang baik.
Politik elektoral sama halnya dengan memasarkan produk kecantikan, untuk bisa laku keras di pasaran, perusahaan harus bisa mengemas citra dengan secantik mungkin, kualitas bukan hal utama, sama halnya seperti partai-partai politik di kampus, namun mereka gagal dalam mengemas citra dengan canggih karena kebodohan-kebodohan maha degil para elit parpol itu sendiri.
Belum lagi berbagai keborokan Partai mulai terkelupas, terbongkarnya kasus kontrol postingan media sosial salah-satu LKm, lebih tepatnya salah-satu HMJ oleh tetua partai dimana Ketum HMJ itu berasal (informasi ini masih dalam investigasi lebih lanjut), hal itu jauh lebih remeh dibanding skandal HIMA HI yang melakukan tindakan tidak terpuji dalam penyeleksian paper pada sebuah kegiatan dan merugikan banyak mahasiswa HI beberapa bulan lalu. Masih banyak contoh lainnya dari kegagalan pemira dan sistem politik kemahasiswaan yang saat ini berjalan untuk membentuk sebuah sistem politik yang dikatakan baik dan pimpinan LKm yang berintegritas, yang terjadi malah sebaliknya yaitu sistem yang koruptif.
Respon LKm atas Sampah dan Respon atas Permasalahan Kongkrit
Keprihatinan tidak terhenti pada ulah LKm yang di kuasai partai saja, DPM dan LKm lainnya misalnya, lembaga-lembaga itu menanggapi selebaran sampah yang bertebaran dikampus dengan sangat serius, sampai Ketua KPUM terpilih di panggil untuk melakukan klarifikasi, ketanggapan mereka merespon gossip jauh lebih cepat daripada merespon kebijakan Kampus yang patut di pertanyakan, misalnya 8 jatah Beasiswa yang diberikan kepada Ketua LKm yang dirasa mahasiswa lainnya bermasalah tidak DPM respon dengan kritis.
Banyak kebijakan kampus yang menguji kewarasan dan kekritisan mahasiswa, namun DPM seperti lebih senang menanggapi hal remeh-temeh, seperti ibu-ibu arisan bergosip. Hal ini terulang setiap tahun sejak pertama kali sistem politik kampus dengan pemira sistem multipartai di terapkan, entah hal seperti ini berulang sampai kapan. Lantas, apakah masih bisa mengharapkan kerja dari LKm yang di duduki partai politik kampus? Wallahu A’lam Bishawab, namun saya rasa tidak, jika rasionalitas kita masih terpelihara dengan baik. Kita membutuhkan sistem lain, sebuah alternatif.
Jika sebelum atau sesudah pemira terjadi semacam keributan yang di provokasi oleh pihak-pihak tertentu atau bahkan oleh partai peserta pemira dan menyalahkan KPUM bertindak tidak netral dengan hanya bermodalkan selebaran sampah yang beredar liar minggu lalu, saya rasa kita semua yang masih merawat akal sehat agar tetap sehat akan mengetahui dengan mudah siapa yang sedang tidak sehat. Karena dalam Pemira FISIP tidak ada Bawaslu, DPM dan BEM harus memberikan jaminan keamanan bagi berlangsungnya Pemira dan KPUM.
Rifqi Fadhlurrakhman
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional 2012
Editor CSS Journal
Beri Komentar