Apa yang Posmo dari Telaah Logika Internal atas Struktur yang Relasional?
Tanggapan atas Tanggapan Rangga
Opini, BPPM -- Saya mencatat hanya ada dua poin tanggapan Rangga yang tepat dari tanggapan saya atas tulisannya, (1) Perihal pelabelan (2) Perihal preferensi aktivitas mahasiswa yang tersegmentasi. Selebihnya Rangga menyusuri jalan memutar dengan memfokuskan kritik pada poin-poin yang memang bukan substansi dari tanggapan saya sebelumnya. Karena Rangga tidak berangkat dari medan problematik yang saya ajukan. Oleh karena itu, kehati-hatian saya dalam menanggapi poin-poin yang dikemukakan Rangga merupakan keharusan untuk menjaga fokus diskusi ini agar tidak melenceng dari konteks semula. Tanggapan untuk poin-poin yang di problematisir Rangga akan saya uraikan pada bagian awal tulisan ini, selebihnya mendiskusikan apa yang bermasalah dengan sistem kepartaian dengan lebih spesifik dan sederhana:
1. Saya meletakan neoliberalisme sebagai perumpamaan untuk merujuk sesuatu yang sama secara hakiki dan memiliki logic yang sama, bukan sebuah diksi untuk membuat pelabelan yang disematkan sebelum menelaah logika internalnya sendiri. Misalnya, ketika Rangga merujuk political reforms, administrative reforms dan management information, saya merujuknya pada konsepsi neoliberalisme instititusionalis, karena memang apa yang Rangga kemukakan adalah logika internal konsepsi good governance neoliberalisme. Berbeda dengan pelabelan, yang secara a priori datang tanpa menunjukan logika internalnya terlebih dahulu.
2. Perihal preferensi aktivitas mahasiswa yang berbeda dan bagaimana melibatkan mahasiswa dalam politik secara partisipatif. Mengenai hal itu, akan terlalu luas jika di tempatkan dalam konteks diskusi kali ini, karena problem tersebut bukan hanya menjadi fokus perbincangan mahasiswa hari ini, namun sejak Theodor Adorno dan Benyamin Sueb berbedat tentang meradikalkan kesenian, bahkan sejak Sartre memberikan kuliah filsafat di kafe-kafe.
Telaah Logika Internal atas Struktur yang Relasional
Sedari awal, dalam tanggapan saya terhadap Rangga sudah di nyatakan bahwa logika orang-orang yang berada di luar sistem berbeda dengan orang-orang yang berada di dalam sistem, bukan berarti menganjurkan banalitas perayaan atas keberagaman, namun untuk menunjukan duduk perkara perdebatan yang terjadi antara orang partai dan bukan partai. Sederhananya, saya tidak berada pada posisi yang fraternal dalam mendiskusikan problem politik kemahasiswaan dengan Rangga.
Semuanya dimulai dari sistem. Sistem adalah suatu kumpulan dari elemen-elemen yang memiliki keterkaitan (relational), nampaknya saya tidak usah mengulang ini karena koneksi internet gratis telah menyediakan kemudahan mengakses segala hal. Namun harus, karena Rangga menyinggung karakteristik pribadi dalam sebuah sistem, seakan-akan individu itu otonom dari beroperasinya logika sistem. Di bagian akhir tulisannya, Rangga menyingung post-positivis dan post-modern bukan merupakan sains sosial, namun dengan menawarkan analisis atas karakter individu kepada saya sebelumnya, Rangga telah menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang Posmo tanpa lisensi!
Menolak strukralisme dan menganjurkan gaya berpikir pasca-strukralisme Foucault dan Nietzsche yang seorang Nabi Postmodernisme. Lagi-lagi, ini bukan pelabelan, namun dari cara berpikirnya, kita sendiri bisa mengetahuinya dengan nalar telanjang. Meminjam Martin Suryajana, cara berpikir yang paradoksal semacam ini dinamakan sebagai ‘kejenakaan transendental’.
Yang bermasalah dari tawaran analisis Rangga atas keunikan individu dalam sistem adalah mengaburkan permasalah politik sebagai sistem yang berujung pada permasalahan moral individu yang diandaikan otonom atas sistem.
Sensasi Berideologi dalam Mekanisme Elektoral Yang Apolitis
Apa yang Rangga nyatakan dan tanyakan “Bisakah saya sebut dengan kekalahan the left lantas diasumsikan bahwa nilai-nilainya telah mati? Bagaimana menjelaskan pula keberadaan fundamentalis jika dan hanya jika pertarungan ideologi telah mati?”. Dalam poin ini, Rangga jelas keliru menanggapi argumen saya tentang “Pertarungan partikular antar ideologi jelas telah berakhir sejak Turki Usmani runtuh dan kehancuran komunisme pasca-kebangkrutan Soviet” sebagai kematian ideologi. Dalam tanggapan saya sebelumnya, tidak ada sedikitpun pernyataan tentang kematian ideologi, namun pertarungan partikular dalam arena yang sama. Nilai-nilai ideologi lain memang masih ada namun tidak dalam posisi head-to-head dengan ideologi hegemon hari ini. Ideologi lain hadir hanya sebagai nilai selama ia tidak bisa mewujud dalam suatu aktivitas kongkrit semacam Partai, Negara, gerakan sosial dan lainnya.
Jika ditarik pada konsteks diskusi kali ini, akan terlihat dari partai-partai yang ada di FISIP. Tidak ada partai yang secara ideologis berbeda, bahkan sama-sekali tidak ideologis. Karena menciptakan partai ideologis di dalam kampus, mengajukan diri secara sukarela untuk menjadi pecundang dalam pemira, karena yang dilihat para mahasiswa dari partai bukan “ide” yang tumbuh dari partai itu sendiri, melainkan relasi primordial yang terjalin. Dan keberkuasaannya pun berjalan menurut logika yang sama. Hal ini menjadikan Pemira hanya ajang iseng-iseng berhadiah citra. Apakah Pasfor, Pinus, Jong Pasundan, Kompas dan Serikat Pasundan berdiri dan berpolitik dalam spektrum ideologi yang berbeda? Jawabannya adalah tidak!
Semua partai tersebut malah menetralisir antagonisme antara mahasiswa dan elit kampus, menjadikan keduanya hanya sebatas hubungan check and balance. Dan menawarkan prinsip political reforms, administrative reforms dan management information dalam pengelolaan institusi politik yang di tawarkan Rangga, dan hal itu pun berjalan dalam relasi antara mahasiswa dengan LKm Sebagai wakil mahasiswa. Hanya sekumpulan kecil mahasiswa dikampus yang menawarkan “ide” sebagai pijakan praksis, dan tak laku, karena kampus kita bukanlah kampus yang dibangun untuk menciptakan tradisi intelektual yang kuat.
Mengapa harus menempatkan mahasiswa dan elit kampus dalam hubungan yang antagonistis? Karena jelas, mahasiswa adalah pihak yang dirugikan oleh berbagai kebijakan kampus dan tugas gerakan mahasiswa, partai, pers, LKm dan lainnya adalah melawannya, karena hanya melalui institusi formal itulah mahasiswa bisa meminta pertanggungjawaban kampus dengan realistis. Namun sayangnya, LKm dan partai melakukan hal sebaliknya, yaitu menjadi mainan untuk mendiamkan mahasiswa
Kembali pada Inti Kritik : Apa yang membuat sistem kepartaian bermasalah?
Masih banyak yang berlagak naif tentang realitas politik kemahasiswaan yang sebenarnya, atau bahkan sama sekali tidak mengetahuinya karena memang bukan dorongan politis lah bergabungnya mereka dengan partai politik di kampus. Untuk menyederhanakannya, saya memberikan narasi sederhana mengenai problem itu. Silahkan simak contoh kasus dibawah ini dengan santai :
Rusdi adalah seorang kader partai beringin, dalam perebutan kursi jabatan himpunan, partai beringin kalah perolehan suara oleh partai kaktus, kemudian Rusdi yang seorang kader partai beringin mendaftar untuk menjadi formatur himpunan yang dikuasai oleh partai kaktus, namun ditolak.
Rusdi di tolak menjadi formatur himpunan bukan karena ia tidak berkapabilitas, namun karena Rusdi adalah kader partai beringin, oponen partai kaktus dalam Pemira.
Karena partai kaktus menjadi pemenang, ia mempunyai power untuk mengatur segala hal terkait himpunan, mulai dari formatur, program kerja, relasi kelembagaan bahkan kontrol media sosial, sederhananya korupsi legitimasi.
Hal ini terjadi dalam politik elektoral multi-partai seperti dalam Pemira FISIP atau bahkan politik kenegaraan pada umumnya, mengapa Megawati menyinggung Jokowi agar tidak keluar dari haluan Partai, jelas hal itu wajar karena Jokowi menjadi Presiden melalui Partai. Yang akhirnya demokrasi di FISIP hanya sebatas relasi yang demokratis antara ketum himpunan dan BPH himpunan, pimpinan partai dan pimpinan LKm.
Kondisi seperti demikian mengeksklusi mahasiswa lain diluar partai berkuasa, segala akses informasi dalam himpunan di monopoli oleh partai sehingga mahasiswa lainnya yang berbeda partai atau tidak berpartai sama-sekali, tidak diberikan akses dan memiliki hak yang sama. Hal ini berlaku sama bagi LKm lain seperti BEM dan DPM.
Begitulah sistem kepartaian berjalan dalam spektrum kekuasaan, bukan karena pimpinan partai kaktus tidak bermoral dan tidak jujur, namun karena memang logika beroperasinya partai demikian adanya. Perumpamaan diatas sangat dekat dengan keseharian politik kemahasiswaan di kampus kita hari ini. Siapapun pemimpinnya, jika sistemnya sama, logikanya sama kontradiksinya pun sama.
Lantas, jika realitasnya seperti demikian, selain guyonan untuk apa partai kampus membawa wacana tentang perubahan dan menyatukan mahasiswa? Bahkan, kerja politik yang mereka lakukan dan dipahami sebagai aktivitas yang politis adalah aktivitas yang sangat apolitis. Pemira bukan tentang pembelajaran politik, namun tentang bagaimana mahasiswa di politisasi oleh elit agar asyik dengan pertarungan politiknya sendiri yang palsu dan melupakan permasalahan kongkrit di kampus.
Skema Politisasi Mahasiswa dan Mahasiswa yang Politis
Kedua skema itu tetap menempatkan kampus sebagai pemegang otoritas pembuatan kebijakan. Perbedaannya adalah :
Skema 1: Menempatkan kampus secara absolut. lihat garis (---) yang tidak bisa di interupsi, di akibatkan oleh pertarungan partikular antar mahasiswa yang menempatkan jabatan struktural LKm sebagai situs perjuangan antar partai-partai dan menjadikan LKm impoten terhadap kekuasaan, akhirnya aktivitas perebutan LKm adalah aktivitas apolitis .
Skema 2: Menempatkan LKm sebagai senjata politis untuk mendorong keterlibatan mahasiswa dalam pengambilan kebijakan kampus secara legal-formal. Garis (- - -) adalah penanda yang bisa saling menginterupsi antara mahasiswa dan LKm. Skema ini hanya akan akan berjalan jika di hapuskannya sistem kepartaian.
Pijakan Tawaran Mencari Sistem Lain
Jika mencari jalan keluar secara instan, tentu akan banyak orang berkata, buat saja partai, lalu masuk ke dalam sistemnya dan perbaiki sistemnya dan berlaku jujur, seperti argumen para aktivis yang mendirikan partai baru di FISIP, seakan-akan sedang melakukan kerja afeksi (affective labor) dan kerja intelektual (intellectual labor) namun nyatanya malah di pekerjakan oleh logika beroperasinya sistem itu sendiri. Sistem dibuat oleh manusia dan bekerja untuk manusia, bukan sistem yang mendikte manusia.
Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan Rangga tentang “Ide apa yang akan diusungkan untuk mencapai kata keterlibatan banyak mahasiswa?”, Jawabannya adalah dengan menghapuskan sistem kepartaian dan menggantinya dengan mekanisme lain, bukan merujuk pada apa yang berabad-abad lalu di terapkan namun melampaui masa lalu dan saat ini. Disini, komitmen perubahan orang-orang yang mengaku sebagai mahasiswa pembawa perubahan di pertaruhkan, mempertahankan sistem lama dengan segala keborokannya atau mencari sistem baru yang progresif.
Tawaran untuk mencari dan membuat sebuah sistem baru dalam politik kemahasiswaan bukan didasarkan pada pengandaian yang terlepas dari realitas seperti yang Rangga tuduhkan pada saya, namun refleksi dari realitas objektif, dari apa yang terjadi di dunia nyata, berangkat dari apa yang benar terjadi, berdasarkan pemahaman nyata, pemahaman akan sistem yang corrupt. Dengan menawarkan suatu sistem lain, menawarkan totalitas logika yang lain dalam suatu proyek emansipatoris dengan sendirinya kita terbebas dari pandangan relativisme yang dianjurkan para begawan Posmodernisme. Jika Rangga menganjurkan untuk berpikir teratur dan terarah, saya menawarkan untuk terlebih dahulu mengarahkan kemana alur dan arah pemikiran tertuju, agar bukan hanya merasakan sensasi berpolitik, namun benar-benar berpolitik.
Rifqi Fadhlurrakhman
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional 2012
Editor CSS Journal
Beri Komentar