Header Ads

Redefinisi Sistem Politik Mahasiswa FISIP Unpas di Tengah Gelombang Kritikan

Opini, Rangga -- “Beberapa waktu terakhir partai politik mahasiswa mendapatkan berbagai kritikan atas aktivitas-aktivitas politisnya, partai politik mahasiswa dituduh sebagai biang dari blok-blokan mahasiswa hingga lembaga kemahasiswaan yang dianggap berstandar rendah adalah buah dari partai politik mahasiswa. Benarkah demikian? Bagaimana seharusnya partai politik mahasiswa menyikapi ini?”

Memperbaiki Sistem Kepartaian


Sejauh ini praktik-praktik menuju kekuasaan didominasi oleh cara-cara yang lebih konstitusionil melalui corong partai politik dan mengesampingkan cara-cara subversif yang main tabrak tanpa aturan. Dalam skala yang lebih luas partai politik dijadikan solusi yang paling rasional diantara opsi-opsi buruk (dalam mencapai kekuasaan) yang ada, menariknya partai politik pun digunakan di banyak negara sekalipun secara ideologi bertentangan. Tengok semisal di Jepang terdapat Jiyuminshuto (Demokrat Liberal), Nihon Sakaito (Sosialis), Nihon Minshu Shakaito (Sosialis Demokrat) Komeito (kejujuran) atau Nihon Kyosanto (Komunis). Di Tiongkok yang otokratis, komunis dan sosialis terdapat Partai Komunis Tiongkok dan partai-partai kecil lain yang berkoordinasi melalui Dewan Perhubungan Cadangan Rakyat Tiongkok. Di Kuba yang terkenal dengan perjuangan Castro-nya terdapat Partai Komunis Kuba. Di Amerika Serikat terdapat Partai Demokrat dan Republik disamping partai-partai kecil semacam Partai Nazi Amerika ataupun Partai Keluarga Pekerja. Di Arab Saudi didengungkan pula seruan-seruan yang mengatasnamakan Partai Umat Islam, ataupun di Indonesia dengan partai-partai yang sudah umum diketahui.
Hal di atas menjelaskan bahwa keberadaan partai politik menjadi keniscayaan yang tak bisa terbantahkan di tengah ragamnya kepentingan  karena untuk meng-agregasi kepentingan. Hal itu disematkan kembali kepada peran partai politik meskipun selama ini tidak sedikit perilaku kader partai politik melakukan perbuatan-perbuatan disintegratif atau menyimpang jika kita merujuk partai politik skala nasional. Maka solusi sederhananya ada dua, yakni (1) mendorong transparansi dan (2) kontrol ketat dari semua elemen terhadap aktivitas politik partai. Begitu juga dalam konteks sistem kepartaian FISIP Unpas.


Menyikapi pandangan mengenai sistem kepartaian ini, mahasiswa FISIP ter-dikotomi-kan: (1) ada yang menganggap partai politik itu parasit namun stagnan pada solusi-solusi yang holistik, (2) banyak pula yang berpandangan anti partai politik sama dengan semakin me-rimba-kan aktivitas-aktivitas politik dan ide gerakan anti partai politik tersebut dianggap utopis dalam konteks politik yang worst case scenario.


Berbagai anggapan miring tentang partai politik mahasiswa bisa jadi benar ataupun juga hanya dibenar-benarkan. Akan tetapi, cerminan demokrasi yang lebih mantap biasanya juga didukung oleh civil society (dalam hal ini mahasiswa dengan kepekaan dan partisipasi politik yang tinggi) yang aktif mengawal demokrasi agar perilaku-perilaku kader partai politik tidak berubah menjadi predator demokrasi, paling tidak koreksi yang diberikan civil society membuka ruang untuk memperbaiki sistem kepartaian mahasiswa. Setidaknya, persoalan mendasar mengenai sistem kepartaian ini antara lain:


a)    Bagaimana menjabarkan pendaftaran partai politik kampus yang dilimpahkan pada domain KPUM saja serta kaitannya dengan bagaimana BEM selaku pelaksana tertinggi (apakah itu ditingkat Depdagri, Setneg, ataupun departemen yang relevan lainnya) tidak memposisikan diri dalam pemeriksaan, pengujian dan pembuktian kelengkapan dan kebenaran persyaratan hingga keabsahan suatu partai. Padahal model yang umum digunakan adalah pendaftaran partai politik merupakan domain dari pelaksana tertinggi dalam hal ini BEM yang membuka kemungkinan menjembatani partai politik mahasiswa dengan pihak dari kampus, sementara KPUM hanya fokus pada verifikasi lanjutan dan pelaksanaan pemilihan dalam konteks ini PEMIRA.
b)    Kekacauan pengadministrasian ini membuat partai politik meskipun diakui legalitasnya, menemui seribu alasan ketidakjelasan tentang eksistensinya, hingga dimunculkan opini jika partai politik kampus harus tertutup pergerakannya, aktivitas kepartaian dianggap tabu dilahap dalam-dalam. Pijakan kultural ini terus menerus diamini dan berkembang subur setiap tahunnya.
c)    Pemahaman dan kemampuan ruling clique (pengendali partai) yang berbeda-beda ditambah dengan ke-absen-an pihak kampus untuk menjaga koordinasi dan mengevaluasi partai politik tidak memiliki suatu standar yang jelas berakibat pada saluran-saluran seperti rekrutmen dan sosialisasi yang baik dan transparan selalu tersendat. Di titik ini partai politik menghadapi seribu alasan untuk dikritik.
d)    Tantangan bagi ruling clique adalah mau tidak mau memperbaiki mekanisme yang masih samar-samar, paling tidak fase pertama adalah menghapuskan dengan tegas mengenai ketabuan aktivitas partai politik mahasiswa di FISIP dengan penambahan aturan partai politik mahasiswa dalam bab Lembaga Kemahasiswaan, selanjutnya mengenai teknis, fungsi dan hak partai politik mahasiswa di ranah kampus hingga jalur koordinasinya bisa dibahas lebih lanjut dengan BEM melalui departemen terkait. Disamping itu, keterlibatan pihak kampus juga sangat penting. Kampus bisa menyediakan program-program semacam (1) Training & directing: berupa pelatihan keorganisasian, kepemimpinan dan kepartaian hingga pengarahan visi-misi yang sesuai dengan kampus (2) Developing: implementasi dan eksplorasi (3) Researching: mengkaji dan mengevaluasi sistem kepartaian terutama dalam misi untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa serta peningkatan budaya partisipannya.
e)    Suara-suara miring mengenai blok-blokan, imanjinasi politik yang miskin, dan belum sempurnanya tata kelola partai politik dalam membangun kesadaran berpolitik mahasiswa, bisa partai politik tanggapi dengan mengkonsolidasikan dan mengintensifkan komunikasi tiap-tiap partai. Artinya dalam beberapa waktu kedepan konsolidasi antar ketua umum bisa menjadi jalan yang tepat terutama untuk menjawab kritikan-kritikan, menunjukan kedewasaan berpolitik dan merumuskan hal-hal yang perlu diperbaiki bersama dan transparan.



Rekomendasi
Ada tiga langkah yang perlu diperhatikan, diantaranya: (1) Political reforms: melakukan pergerakan yang menepis ketabuan partai politik mahasisiwa di kampus atau resosialisasi nilai-nilai kepartaian dan mengesahkan seperangkat aturan yang menjadi landasan partai politik. (2) Administrative Reforms: mengkaji substansi teknis untuk partai politik mahasiswa dan standar hasil kerja. (3) Management information system: laporan-laporan mengenai hasil kebijakan DPM, aktivitas partai politik yang bisa diakses secara mudah dan jelas, hingga  memastikan informasi-informasi yang merupakan hak mahasiswa diterima secara efektif dan menyeluruh, semisal mempublikasikan konstitusi yang berlaku dengan semangat dan komitmen meningkatkan kepedulian mahasiswa terhadap tata kelola kelembagaan dan aktivitas politiknya. (Rangga Amalul A, Prodi Hubungan Internasional 2011, FISIP Unpas)


Tidak ada komentar