Perjuangan Itu Harus Jelas, Sayang!
Opini, Resha -- Perjuangan itu tidak harus klimis, ganteng ala Lee Min Ho ataupun sekadar bergaya rocker ala Axl Rose, agar rupa punya nilai jual di banner. “Berjuang Tak Sebercanda Itu,” begitulah sedikit ‘ngutip’ branding kang mas Sudjiwo Tejo seorang seniman jancuk paling tampan asal Indonesia. Saya fokuskan wacana perjuangan dengan realita mahasiswa yang katanya pejuang di FISIP Unpas.
Saya harap aktivis/pejuang kampus yang secara berkala ikut pertarungan rebutan suara mahasiswa di momen Pemilihan Umum Raya tak kosong bersuara soal “Perjuangan”. Perjuangan haruslah memiliki aspek-aspek di dalamnya, perjuangan harus ada jelmaan moralnya, harus jelas siapa, dan apa yang diperjuangkan.
Perjuangan adalah usaha dan kerja keras untuk meraih hal yang baik bagi orang banyak, organisasi, dan diri sendiri. Perjuangan hari ini dan seterusnya yang selalu diumbar calon elit mahasiswa di FISIP hanya sebatas wacana nihil. Pada realitanya setelah terpilih, mereka menganggap perjuangan adalah sebatas meraih kemenangan. Pergerakan intelektual ‘pejuang’ kampus kian tumpul melebihi 120 derajat.
Dalam suatu perjuangan tentu ada pelaku pejuang. Pejuang bisa disebut berjuang saat ia memang merasakan ada ketidak-benaran, dan melakukan suatu upaya perubahan. Jenis apa gerakannya tergantung selera si pejuang, mau aksi massa atau berekspresi dengan seni maupun tulisan. Namun perlu diingat Seorang pejuang tentulah ia memiliki gagasan atau pemikiran-pemikiran yang rasional soal arah gerak perjuangan.
Janji Kacang Rebus
Para calon elit-elit mahasiswa saat Pemira sudah terbiasa mengumbar janji akan mewujudkan FISIP yang lebih baik. Menjanjikan bahwa mereka akan menjadi wakil dari mahasiswa lain. Kata-kata ‘Perjuangan’ sudah seperti kacang rebus murah yang mereka tawarkan untuk mendapat imbalan “dicoblos” oleh mahasiswa lain saat Pemira.
Bertahun-tahun kampus FISIP punya Parpol, DPM, Lembaga Eksekutif yang mangkal di Lengkong Besar, tetap saja dosen tidak berkapabilitas masih mengajar, kurikulum yang enggak jelas arahnya kemana tidak pernah jadi bahan kritikan wakil mahasiswa. Toilet krisis air, dan bau menyengat seolah dinikmati pula oleh elit-elit mahasiswa.
Tak ada suntikan dari ‘wakil’ mahasiswa untuk mahasiswa hari ini yang lebih senang menghabiskan waktu luang dengan bermain kartu di setiap sudut kampus. Tak ada wadah pengembangan intelektualitas yang disuntikan kepada mahasiswa yang mereka anggap seonggok daging hidup yang acuh tak acuh melihat banteng (elit mahasiswa) yang dulu pemberani, dan sekarang hanya jadi budak pawang (birokrat).
Kasus transparansi dana kemahasiswaan, kecurigaan korupsi yang harusnya diawasi oleh ‘wakil’ mahasiswa justru dianggap “wajar, karena kampus swasta”. Buku-buku perpustakaan yang tidak pernah ditambah, untuk ingin pintar di kampus sendiri pun tidak pernah diperjuangkan. Lantas perjuangan di FISIP ini untuk mahasiswa atau eksistensi partai dan elit-elit kampus? Mahasiswa sudah pasti tahu jawabannya.
Tak lupa pula isu-isu nasional yang menjadi ranah pengawasan mahasiswa sudah langka dan hampir punah di FISIP, justru dianggap “bukan urusan kami”. Hal yang sangat jarang lagi menemui pergolakan jiwa muda memenuhi koridor kampus dengan aksi konsolidasi atau sebagainya.
Perjuangan Pasif
Pasifnya perjuangan tidak sadar telah dilakukan oleh para elit mahasiswa. Anggota perkumpulan yang itu-itu saja hanya mampu memaknai perjuangan sebagai hasil bacaan, dan bahan pembicaraan, tetapi tidak dapat membuktikan kembali secara praktik.
Saat lontaran kritik dijatuhkan, tak jarang mereka sama-sama saling mengaku korban, dan bersikap selayaknya “kami pun mahasiswa biasa”. Padahal menjelang Pemira semua berlomba-lomba mengatakan “kami akan jadi representative mahasiswa, dan wakil dari mahasiswa”. Kesiapan mental pun tak sampai seperempatnya. Kita ketahui bersama, niat yang nanggung akan memberikan hasil yang setengah-setengah pula.
Maka tiap tahunnya, perjuangan yang diperjuangkan adalah sekadar pergantian nama-nama Ketua Lembaga Kemahasiswaan, bukan lagi subtansi dari permasalahan yang ada. Tentulah perjuangan itu hanya sebatas menambahkan pengalaman yang tidak seru di CV masing-masing saja. Namun, kembali lagi pada esensi dari perjuangan, perjuangan ada karena ingin menemukan solusi dari permasalahan, kalau bukan, sayang ‘perjuangan’ di FISIP selama ini merupakan sebuah ilusi yang dengan bangga dipertontonkan. (Resha Harpina, Prodi Hubungan Internasional 2012)
Saya harap aktivis/pejuang kampus yang secara berkala ikut pertarungan rebutan suara mahasiswa di momen Pemilihan Umum Raya tak kosong bersuara soal “Perjuangan”. Perjuangan haruslah memiliki aspek-aspek di dalamnya, perjuangan harus ada jelmaan moralnya, harus jelas siapa, dan apa yang diperjuangkan.
Perjuangan adalah usaha dan kerja keras untuk meraih hal yang baik bagi orang banyak, organisasi, dan diri sendiri. Perjuangan hari ini dan seterusnya yang selalu diumbar calon elit mahasiswa di FISIP hanya sebatas wacana nihil. Pada realitanya setelah terpilih, mereka menganggap perjuangan adalah sebatas meraih kemenangan. Pergerakan intelektual ‘pejuang’ kampus kian tumpul melebihi 120 derajat.
Dalam suatu perjuangan tentu ada pelaku pejuang. Pejuang bisa disebut berjuang saat ia memang merasakan ada ketidak-benaran, dan melakukan suatu upaya perubahan. Jenis apa gerakannya tergantung selera si pejuang, mau aksi massa atau berekspresi dengan seni maupun tulisan. Namun perlu diingat Seorang pejuang tentulah ia memiliki gagasan atau pemikiran-pemikiran yang rasional soal arah gerak perjuangan.
Janji Kacang Rebus
Para calon elit-elit mahasiswa saat Pemira sudah terbiasa mengumbar janji akan mewujudkan FISIP yang lebih baik. Menjanjikan bahwa mereka akan menjadi wakil dari mahasiswa lain. Kata-kata ‘Perjuangan’ sudah seperti kacang rebus murah yang mereka tawarkan untuk mendapat imbalan “dicoblos” oleh mahasiswa lain saat Pemira.
Bertahun-tahun kampus FISIP punya Parpol, DPM, Lembaga Eksekutif yang mangkal di Lengkong Besar, tetap saja dosen tidak berkapabilitas masih mengajar, kurikulum yang enggak jelas arahnya kemana tidak pernah jadi bahan kritikan wakil mahasiswa. Toilet krisis air, dan bau menyengat seolah dinikmati pula oleh elit-elit mahasiswa.
Tak ada suntikan dari ‘wakil’ mahasiswa untuk mahasiswa hari ini yang lebih senang menghabiskan waktu luang dengan bermain kartu di setiap sudut kampus. Tak ada wadah pengembangan intelektualitas yang disuntikan kepada mahasiswa yang mereka anggap seonggok daging hidup yang acuh tak acuh melihat banteng (elit mahasiswa) yang dulu pemberani, dan sekarang hanya jadi budak pawang (birokrat).
Kasus transparansi dana kemahasiswaan, kecurigaan korupsi yang harusnya diawasi oleh ‘wakil’ mahasiswa justru dianggap “wajar, karena kampus swasta”. Buku-buku perpustakaan yang tidak pernah ditambah, untuk ingin pintar di kampus sendiri pun tidak pernah diperjuangkan. Lantas perjuangan di FISIP ini untuk mahasiswa atau eksistensi partai dan elit-elit kampus? Mahasiswa sudah pasti tahu jawabannya.
Tak lupa pula isu-isu nasional yang menjadi ranah pengawasan mahasiswa sudah langka dan hampir punah di FISIP, justru dianggap “bukan urusan kami”. Hal yang sangat jarang lagi menemui pergolakan jiwa muda memenuhi koridor kampus dengan aksi konsolidasi atau sebagainya.
Perjuangan Pasif
Pasifnya perjuangan tidak sadar telah dilakukan oleh para elit mahasiswa. Anggota perkumpulan yang itu-itu saja hanya mampu memaknai perjuangan sebagai hasil bacaan, dan bahan pembicaraan, tetapi tidak dapat membuktikan kembali secara praktik.
Saat lontaran kritik dijatuhkan, tak jarang mereka sama-sama saling mengaku korban, dan bersikap selayaknya “kami pun mahasiswa biasa”. Padahal menjelang Pemira semua berlomba-lomba mengatakan “kami akan jadi representative mahasiswa, dan wakil dari mahasiswa”. Kesiapan mental pun tak sampai seperempatnya. Kita ketahui bersama, niat yang nanggung akan memberikan hasil yang setengah-setengah pula.
Maka tiap tahunnya, perjuangan yang diperjuangkan adalah sekadar pergantian nama-nama Ketua Lembaga Kemahasiswaan, bukan lagi subtansi dari permasalahan yang ada. Tentulah perjuangan itu hanya sebatas menambahkan pengalaman yang tidak seru di CV masing-masing saja. Namun, kembali lagi pada esensi dari perjuangan, perjuangan ada karena ingin menemukan solusi dari permasalahan, kalau bukan, sayang ‘perjuangan’ di FISIP selama ini merupakan sebuah ilusi yang dengan bangga dipertontonkan. (Resha Harpina, Prodi Hubungan Internasional 2012)
Beri Komentar