Header Ads

Otentisitas dan Ketakutan yang Membelenggu "Aku"

Opini, Laki-laki Pemalu--Apakah kita...tersesat arah...mengapa kita...tak bisa dewasa...dewasa...”. Mungkin, penggalan lirik lagu Efek Rumah Kaca berjudul “Kenakalan Remaja di Era Informatika” di atas menggambarkan secara singkat apa yang akan saya tulis. Ini secuil cerminan seluruh probematika kehidupan. Terkadang kita sering bertanya siapa aku? Kenapa aku harus takut?  Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang terkadang mengusik pikiran kita. Terkadang pula, untuk menjawab pertanyaan ini kita hanya mengandalkan subjektivitas kita dalam berpikir.

Kita mulai dari “aku”, mungkin jika bertanya kepada Chairil Anwar tentang “aku” maka dia akan menjawab dengan puisinya:

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Begitulah dia mendeskripsikan siapa “aku” dalam puisinya yang berjudul “Aku”, dan saya menafsirkan “aku” adalah perwujudan dari eksistensi diri, yaitu sesuatu yang berasal dari dalam diri, sehingga menghasilkan sebuah pencitraan di luar diri kita yang ditangkap oleh orang lain. Sehingga “aku” di sini ialah pancaran citra yang tidak dapat dinilai secara subjektif seutuhnya, karena dia merupakan pancaran dari dalam-ke luar, sehingga ditangkap oleh sesuatu yang ada di luar diri kita (individu lainnya) karena sifat dari “aku” sendiri di sini terbatas.

Lebih lanjut dalam memaknai kata “aku”, kita akan menemukan sesuatu yang menurut ilmu psikologi disebut self determination, yaitu rasa percaya bahwa individu itu bisa atau dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Self determination atau penentuan nasib sendiri adalah kombinasi dari sikap dan kemampuan yang memimpin orang-orang untuk menetapkan tujuan untuk diri mereka sendiri, dan untuk mengambil inisiatif untuk mencapai tujuan tersebut. Self determination juga menjelaskan tentang keadaan menjadi lebih berwenang atau bertanggung-jawab, tetapi ini tidak selalu sama seperti self-sufficiency atau kemandirian (independence). Ini artinya seperti membuat pilihan untuk diri kita sendiri, kemudian belajar untuk secara efektif memecahkan masalah, dan mengambil kendali serta tanggung-jawab untuk kehidupan individu kita. Oleh karena itu sesuatu yang ada di hidup kita harus berawal dari diri kita dahulu barulah kita membawanya ke luar diri kita (lingkungan).

Ketika kita berada di sebuah lingkungan maka ada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, yaitu diri kita bisa diterima dengan jati diri kita, diri kita bisa diterima dengan mengikuti sosio-kultural, atau diri kita tidak bisa diterima. Dari kemungkinan-kemungkinan yang saya sebut tadi, semuanya berawal dari diri kita “aku” seperti yang saya terangkan sebelumnya.

Dalam kehidupan sosial sudah seharusnya kita mengenal diri kita seutuhnya, agar kemungkinan yang terakhir itu terjadi. Perwujudan dari keasliaan, kesadaran dan kebebasan manusia, untuk menentukan segala hal dalam kehidupannya sesuai minat dan keinginannya, ini disebut otentisitas. Mengembangkan potensi alamiah dan hasil pemikiran dari dirinya sendiri tanpa ada faktor luar yang memengaruhinya (meskipun dalam daya pikirnya mengenai orang lain), otentisitas seperti sebuah pemikiran subjektif yang berpikir secara sadar dan bebas tentang dirinya. Dalam mewujudkan sebuah diri yang yang otentik secara singkat, cara yang paling sederhana adalah dengan mengetahui siapa diri kita sebagai manusia. Secara umum pembeda antara manusia dan makhluk lainnya adalah pertama, akal yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan sebuah rasionalisasi dari seruluh objek yang ditangkap oleh indra.

Kedua, hati yaitu sesuatu yang tidak dapat saya deskripsikan namun hati memiliki peran yang sangat penting dalam hidup kita yaitu hati mampu meng-objek-an sesuatu yang sifatnya transendental sehingga terkadang melakukan sesuatu yang irasional dan menjadi landasan manusia. Berawal dari akal dan hati-lah manusia melakukan segala tindakannya sehingga tidak ada dikotomi diantaranya, akal dan hati haruslah saling menyinkronisasi-kan sehingga nantinya akan menghasilkan sesuatu tindakan dari dalam diri kita untuk keluar. Konsekuensi dari kita menyinkronkan antara akal dan hati, maka kita akan mengenali diri kita secara keseluruhan karena akal dan hati-lah yang mampu memberikan sebuah nilai yang konkret terhadap diri kita sendiri, lebih lanjut maka kita akan mengenali siapa kita atau yang sering saya sebut adalah kita mencintai diri kita.

Ketika kesadaran dari sebuah keotentikan, maka kita dihadapkan dengan sebuah realitas kehidupan. Otentisitas seperti yang diterangkan oleh Erich Fromm adalah bagaimana sebuah keotentikan diri manusia dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Sehingga jika kita sepakat dengan Fromm maka menurut saya yang terjadi adalah sebuah krisis identitas di mana kita tidak dapat mengaktualisasikan keotentikan diri kita karena terbentur oleh realitas sosio-kultural. Pada akhirnya kita akan menjadi seseorang yang melarikan diri dari kebebasan dan menjauhkan diri dari kecemasan serentak, juga berarti adanya kesadaran (akan) kebebasan, kecemasan, dan pelarian. Dengan demikian manusia mengakui kebebasannya dan serentak menyangkal kebebasan itu. Sikap tidak otentik ini oleh Sartre disebut maufaice foi (bad faith; sikap malafide) dalam sikap malafide menjadi kentara kemungkinan bagi manusia untuk mengakui dan menyangkal apa yang dihayatinya. Sikap yang tidak otentik ini menunjukkan bahwa manusia menipu dirinya sendiri (ketakutan).

Menurut Reza A.A Wattimena dosen filsafat Unika Widya Mandala Surabaya dalam lamannya, ketakutan adalah antisipasi berlebihan terhadap apa yang akan terjadi. Fokus dari ketakutan adalah masa depan. Ia belum terjadi, namun kemungkinan akan terjadi. Kemungkinan ini didasarkan pada pengalaman pahit diri sendiri maupun orang lain di masa lalunya. Sumber dari rasa takut adalah pikiran kita. Kita membangun bayangan atas apa yang akan terjadi pada diri kita. Bayangan tersebut menghantui kita, dan membuat pikiran kita menjadi kacau. Pikiran kacau juga akan menciptakan hidup yang kacau. Jadi, rasa takut adalah bayangan. Ia belum terjadi. Kemungkinan juga, ia tidak akan pernah terjadi. Rasa takut tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan sangat tergantung dari cara berpikir dan keadaan pikiran kita.

Sehingga benar adanya yang membelenggu hidup kita adalah diri kita sendiri. Sehingga dalam menjalani kehidupan kita merasa tidak bebas. Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitasnya. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Kebebasan juga merujuk pada cinta dan kasih sayang terhadap sesama manusia. Kebebasan memberi dan membagi, kebebasan bertindak dan beraktivitas yang disinergikan dalam suatu kehidupan manusia itu sendiri. Akan tetapi, pada jaman ini kebebasan yang sesuai dengan pengertian di atas mulai sulit ditemukan dikarenakan keterasingan (alienasi). Budi Darma (1995:134) keterasingan pada awalnya merupakan gejala sosial dalam masyarakat modern. Kemajuan teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Akan tetapi perkembangan teknologi tersebut justru menenggelamkan manusia dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia luar dan akhirnya mengalami keterasingan (alienasi).

Manusia yang mulai terjebak dalam keterasingan (alienasi) mulai lupa tentang kebebasan.  Di tengah-tengah arus modernisasi dan industrialisasi seperti itu, manusia lemah semakin teralienasi dari lingkungan sosialnya. Sehingga muncul pertanyaan tentang kebebasan manusia. Dalam situasi teralienasi seperti itu sangat mungkin kebebasan menjadi suatu yang absurd. Ide kebebasan manusia dipertanyakan kembali: Apa artinya bebas? Sejauh mana seseorang dapat dikatakan bebas?

Manusia modern, menurut Fromm telah mengalami alienasi atau keterasingan secara total dalam kehidupannya yang meliputi hubungan manusia dengan pekerjaannya, manusia dengan benda – benda yang mereka konsumsi, manusia dengan negara, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan dirinya sendiri.

Akhir dari tulisan ini saya juga ingin memberikan kutipan lirik dari Efek Rumah Kaca sebagai refleksi untuk kehidupan kita yang lebih baik lagi dan menjadi manusia yang bebas.

“Kau belah dadaku mengganti isinya, dihisap pikiranku memori terhapus, terkunci mulutku menjeritkan pahit, Hingga kau belah dadaku mengganti isinya dengan batu, hingga kau kunci rapat mulutku. (Laki-laki Pemalu)

Tidak ada komentar