Header Ads

Membangun Oposisi sebagai Partisipan Penguasa

Opini, Ucok -- Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman manusianya sehingga tidak mencengangkan jika di Indonesia banyak terjadi perbedaan termaksud juga sistem politiknya. Negara dunia ketiga seperti indonesia ini pasti-lah sistem politik yang terbangun menjadi suatu hal yang sangat diperhatikan khususnya indonesia yang sedang melakoni sebuah proses demokratisasi yang menurut Robert A. Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989): Pemberian kebebasan untuk berbeda pendapat dan pendirian; pengembangan martabat manusia dengan otonomi menentukan nasib sendiri yang disertai otonomi moral untuk bertanggung jawab; serta kepastian untuk melindungi dan memajukan kepentingan tiap-tiap orang. Sehingga diperlukannya sebuah kesepahaman bersama terhadap sebuah proses demokratisasi itu sendiri yang tidak menumpu hanya pada satu titik tumpuan saja yaitu di lingkaran elit politik,  namun lebih dari itu proses demokratisasi harus juga menyentuh setiap lini di masyarakat itu sendiri.

Demokrasi yang terbangun di Indonesia merupakan sebuah proses pengejawantahan dari Pancasila sehingga polarisasi demokrasi yang terbangun di Indonesia bukan sebuah demokrasi murni melainkan adanya sebuah pengaruh Pancasila di setiap implikasi yang tarcipta dari demokrasi. Demokrasi yang sehat adalah di mana setiap bentuk yang dilakukan oleh pemerintahan dapat diawasi dan didukung. Maka dari itu diperlukan sebuah kelompok oposisi, yaitu bukan didefinisikan sebagai “pengganggu”, melainkan sebagai “partisipan” sehingga pada akhirnya kelompok oposisi tersebut ditenggelamkan dan berada dibalik bangunan kokoh negara. Namun bukan berarti kelompok oposisi itu hilang melainkan mereka hidup dan tumbuh di akar rumput masyarakat bukan sebagai partisipan di pentas politik.


Sebenarnya oposisi bukan sebuah kebutuhan, melainkan kenyataan yang tak terhindarkan. Keberadaan oposisi membuat negara memiliki counter player, itu dikarnakan oposisi sebagaimana yang diidentifikasi Ghita Lonescu dan Isabel de Madriaga dalam Opposition (1982) ― oposisi hadir sebagai pemerhati, pengontrol, dan evaluator perilaku dan kinerja negara. Sehingga tanpa adanya sebuah kelompok oposisi negara seperti bergerak sendiri.


Gerakan oposisi yang terbangun saat ini di indonesia adalah sebuah gerakan subkultur politik. Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, kelompok oposisi selalu memposisikannya sebagai sebuah kebijakan yang kurang tepat. Ditambah oposisi yang terbangun di Indonesia merupakan sebuah inisiasi partai-partai politik yang domisilinya setiap partai memiliki ideologi yang berbeda, ini membuat kelompok oposisi di Indonesia banyak yang berhenti di tengah jalan sehingga tidak menciptakan sebuah bargaining power  terhadap penguasa. Entitas yang tergabung dalam sebuah kelompok oposisi seharusnya lebih fokus terhadap internalnya, agar tidak terjadi perbedaan pendapat didalamnya. Kelompok oposisi seharusnya lebih memperhatikan entitas-entitas yang ada didalam kelompok oposisi sehingga menghasilkan sebagai sebuah gerakan yang dijiwai secara bersama-sama. Lebih lanjut Seharusnya gerakan oposisi yang terbangun tidak hanya mempunyai jangka waktu per-periode namun harus tetap mempunyai kelanjutan yang saling berkesinambungan. 


Kelompok oposisi harus membangun sebuah sistem yang statis sehingga dia lebih mengikat antar entitas kelompok oposisi. Semua tetap pada kelompoknya dan akan lebih fokus terhadap power dan influence  kelompok oposisi sehingga menghasilkan sebuah bargaining yang jelas terhadap penguasa. Kelompok oposisi seharusnya lebih bersifat terbuka terhadap segala kebijakan pemerintah agar menjadi sebuah kebijakan yang bernilai. Kelompok oposisi juga harus memperhatikan kepentingan politiknya karena tidak semua kepentingan adalah politik namun politik adalah kepentingan yaitu sebuah kepentingan yang menurut Aristoteles adalah untuk kebaikan bersama. Pada akhirnya jika kelompok oposisi sudah memahami fungsi dan tugas nya sebagai partisipan politik yaitu sebagai orang yang mendukung segala kebijakan yang tepat dan menolak kebijakan yang tidak sesuai sehingga dalam sebuah sistem politik indonesia akan tercipta sebuah polarisasi demokrasi yang sesuai seperti apa yang di harapkan. (Rizki 'Ucok' Yusro, Prodi Hubungan Internasional 2013)

Tidak ada komentar