Header Ads

Lembaga Kemahasiswaan Ekslusif, Kampus Takkan Produktif

Opini, Fajar Hasanul—Tak bermaksud memandang Pemira sebagai pesta, karena bagaimana pun pesta takkan pernah mengekspresikan kekalahan dalam suasana gembira. Pesta, selalu bernuansa tak pernah tak senang, ia mewujudkan diri sebagai simbol (ceremonial) kesenangan dan kemenangan, sebagaimana  makna neraka yang menyimbolkan amarah dan pembalasan, atau pemakaman yang menyimbolkan kesedihan dan kedukaan. Pesta, hanya manifestasi kemenangan, bukan kekalahan. Pemira sebagai pesta demokrasi hanyalah presumsi atau pengandaian, karena hakikatnya, Pemira hanyalah politik pergantian kekuasaan.

Pengandaian yang tepat justru ketika berandai-andai, mempertanyakan apakah sunyinya detik-detik Pemira di kampus ini sebagai akibat rasa dilematis adanya wujud kekalahan dalam pesta yang membuat pelaku politik menarik diri dalam riuh kemenangan atau singkatnya berempati? Jika ya, itu artinya mereka terlampau mendilematisir pertanyaan sepele. Tapi, jika ya ini ditanggapi secara serius, sungguh sedih mereka teramat telah mendramatisir-nya.

Pertanyaan pengandaian di atas padahal tidak lebih dari sekadar teka-teki berbahasa saja, karena sebetulnya kesunyian jelang Pemira lebih diakibatkan oleh stagnan-nya dinamika politik pemerintahan mahasiswa FISIP Unpas—semoga bukan juga karena bebodohan pengalaman politik yang membelenggu para elit mahasiswa. Ya, begitulah asumsinya, elemen Lembaga Kemahasiswaan (LKm) dalam konteks perpolitikan mahasiswa di kampus tak pernah menghasilkan kemajuan politik.

Bagaimana tidak, lembaga eksekutif dan legislatif sebagai suprastruktur politik, dan infrastruktur seperti partai mahasiswa, pers, bahkan komunitas politik, gerakannya cenderung ekslusif memisahkan diri dengan mahasiswa FISIP Unpas secara umum. Lkm dan sejenis seperti men-dikotomi dirinya kepada yang tidak berlembaga, sebagai mahasiswa apatis yang seolah lebih baik diabaikan. Kehidupan politik di kampus—sengaja atau tidak—tampak dilokalisir bagi kalangan aktivis saja. Mahasiswa biasa dibiarkan menjadi makhluk pasif yang sama sekali tak pernah tertarik pada pusaran politik pemerintahan mahasiswa, padahal mereka pun ingin menjadi pribadi yang paham.

Sifat ekslusif LKm ini akan berbuntut pada masalah bagaimana bisa dinamika politik dapat berkembang kalau pelaku sistemnya hanya terdiri dari orang-orang yang melulu itu, dengan jumlah selalu segitu, hingga datang regenerasi dari mahasiswa baru yang itu. Keadaan ini menjadi pertanyaan menohok terhadap sejauh mana pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, rekrutmen politik, bahkan propaganda politik diperankan LKm atau sejenis di kampus terhadap mahasiswa FISIP Unpas secara keseluruhan?

Muncul kesan dari ekslusivitas LKm atau sejenis ini sama artinya dengan membiarkan situasi mahasiswa tampak tidak harus diajak berperan aktif memajukkan FISIP Unpas, cukup LKm saja yang berperan atas nama wakil mereka. Jelas ini salah kaprah, mahasiswa lain pun ingin bisa membawa kampus lebih maju hanya saja mereka belum tahu bagaimana melakukannya.

Kendati demikian, bukan berarti memposisikan LKm sangat bertindak ekslusif. Pasti ada pihak yang menyadari perlunya peranan aktif mahasiswa secara umum untuk membangun kemajuan kampus, akan tetapi mungkin terbentur dengan fenomena apatisme mahasiswa dewasa ini. Namun, jika masih menyalahkan apatisme mahasiswa yang membuat elit mahasiswa kelimpungan tentu tidaklah tepat. Justru sekarang sudah saatnya LKm mesti bergerak terbuka, memikirkan cara, dan mengajak agar bagaimana seluruh mahasiswa bisa sadar berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Dari sini, apatisme harus dilawan dengan cara membangun kesadaran bagi mereka.

Peran Propaganda

Disebutkan di atas bahwa mahasiswa FISIP Unpas—sebenarnya seluruh Indonesia—terdiri atas tipologi aktivis dan apatis. Peranan interaksi politik LKm yang kurang, menjadi salah satu penyebab apatisme terus hidup. Kegiatan politik yang dilokalisir sebatas untuk kalangan LKm sebagai cermin ekslusivitas aktivis mahasiswa, tidak akan pernah menemukan political power yang produktif bagi kemajuan kampus bahkan negara. Majunya kampus atau negara tercipta karena anggota-anggota masyarakatnya yang produktif. Tentu menjadi pekerjaan rumah bagi LKm untuk membawa seluruh mahasiswa FISIP Unpas menjadi produktif.

Tindakan komunikasi atau propaganda politik perlu dilakukan dalam skala yang masif  dalam rangka membentuk lingkungan civitas akademika yang erat dengan budaya diskursus keilmuan, bukan malah dibiarkan sebagai ruang budaya hedonisme. Agar produktifitas terbangun, mahasiswa secara keseluruhan harus diarahkan pada dinamika yang terkonsentrasi untuk pengembangan aspek kegiatan pendidikan kritis di kampus. Tidak mudah memang, namun terpenting adalah LKm harus merangkul mahasiswa dan memiliki kemauan politik (political will) yang ajeg dan kontinyu untuk menunaikannya.

Jacques Ellul, filsuf Perancis pengarang The Technological Society (1965) mendefinisikan propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis dan tergabungkan di dalam suatu kumpulan atau organisasi. Demi mewujudkan suasana kampus yang produktif,  mahasiswa perlu disadarkan ke arah yang mengaktivasi mereka sebagai pribadi berkehendak dan paham cara melaksanakan kehendaknya, terutama bagi kemajuan kampus.

Pendekatan psikologis lewat berbagai elemennya perlu dikonsepsikan dalam propaganda LKm atau sejenis agar tujuan dan sasarannya terarah. Mau tidak mau, persoalan membangun kesadaran mahasiswa, pada hari ini perlu disikapi dalam keadaan mahasiswa sebagai objek pembangungan. Miris memang, tapi beginilah fakta yang dihadapi oleh dunia perguruan tinggi kontemporer. Toh, untuk perubahan seluruh mahasiswa memang harus membentuk kesatuan yang selaras, kompak, tak mudah terpecah-belah.

Komunikasi propagandis mesti dilakukan dengan langkah yang bertahap, terarah, sistematis, dan berkelanjutan. Prinsipnya, bahwa propaganda di sini wajib disebarkan ke seluruh elemen mahasiswa dalam upaya “to tell what to think about”, untuk memberitahukan apa yang harus dipikirkan. Tujuan komunikasinya tidak boleh hampa makna, pembangunan kampus harus jadi isu sentral yang ditanamkan terus menerus dalam benak mahasiswa FISIP Unpas selama berkuliah.

Jika hal itu terjadi, bukan tidak mungkin berjalannya sistem politik pemerintahan mahasiswa akan jauh lebih dinamis dan sehat. Politik akan tercetak sebagai budaya intelektual yang melekat pada mahasiswa FISIP Unpas. Input dan output kebijakan seperti diistilahkan David Easton, akan lebih jelas dengan tolak ukur pembangungan yang terfokus. Pemahaman politik lingkungan masyarakat yang kuat akan menjadi input politik yang berarti bagi output kebijakan yang dikeluarkan otoritas pemerintah. Dinamika politik pemerintahan mahasiswa harus berlangsung seperti demikian, hal tersebut akan membuat pendidikan politik dapat dirasakan—sadar atau tidak—dampaknya. (Fajar Hasanul)

Tidak ada komentar