Header Ads

Di FISIP, si Miskin Sulit Dapat Beasiswa?


Bandung, BPPM -- Tentu judul bertanya di atas mewakili pertanyaan mahasiswa Universitas Pasundan. Khususnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Ya, mahasiswa FISIP mana yang selama berkuliah mengetahui jor-joran adanya beasiswa? Hanya mahasiswa tertentu saja.

Mahasiswa tertentu yang dimaksud adalah, mereka yang kenal dekat dengan birokrat kampus alias Dekanat. Rata-rata mahasiswa tersebut kelasnya aktivis Lembaga Kemahasiswaan.

Jumlah beasiswa di Unpas sendiri hanya tersedia kecil saja. Instansi yang memberikan program beasiswa ke Unpas diantaranya, Direktotrat Pendidikan Tinggi (Dikti), Bank Rakyat Indonesia, Djarum, serta Bank Mandiri. Paling ruitn dari Dikti.

Instansi tersebut, menjadi pengelola tunggal beasiswa uang diprogramkannya. Pihak kampus hanya mencari mahasiswa mana yang layak diberi. Beasiswa yang paling sering diterima di Unpas yaitu dari Dikti. Beasiswanya berjenis Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM), dan Peningkatan Prestasi Akademik (PPA).

Jumlah “sangu” yang diberikan dari Dikti lumayan besar, yaitu sebanyak 4,2 juta rupiah, untuk setahun. Uang tersebut, langsung dikirim dari DIkti pada rekening mahasiswa, tidak lagi dikelola kampus. Khawatir pengelolaan diselewengkan.

Berdasarkan data dari  pengelola beasiswa di Unpas Pusat, Fendi, kuota beasiswa yang diberikan DIkti sendiri, sebanyak 20 orang per fakultas. 10 diantaranya untuk beasiswa BBM, sisanya beasiswa PPA. FISIP Unpas mendapat jatah yang sama, tapi harus dibagi lagi kepada lima jurusan (Ilmu Komunikasi, Administrasi Negara, Administrasi Bisnis, Hubungan Internasional, Kesejahteraan Sosial), kuota akhirnya mengerucut jadi empat orang tiap jurusan; dua untuk BBM, sisanya untuk PPA.

Muncul kejanggalan, ketika BPPM mengkonfirmasi kuota pada staff Wakil Dekan III, bidang beasiswa di FISIP, Ade. Ia mengatakan, kuota beasiswa dari Dikti yang diterima dari dari Unpas pusat justru hanya 11 saja. Itu pun, diperuntukan pada aktivis dari delapan lembaga kemahasiswaan di FISIP.

“Itu khusus untuk aktivis lembaga kemahasiswaan, sisanya untuk mahasiswa biasa,” kata Sumardhani Wakil Dekan III. Muncul pertanyaan, mengapa jatah dari Dikti yang sebanyak 20, hanya diterima FISIP 11 saja? Lantas dimana kejelasan jenis beasiswa yang diterima oleh para aktivis, apakah mereka “menyabet”  juga hak mahasiswa kurang mampu yang lebih layak mendapat beasiswa BBM?

Ade pun tidak mengetahui persoalan jatah kuota beasiswa ini. “Saya dari pusat diinstruksiikan hanya 11. Katanya yang Sembilan sebelumnya, sudah diberikan kepada mahasiswa FISIP yang ikut Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus Unpas Pusat, oleh bidang kesejahteraan mahasiswa,” kata Ade. 

Ketika dikonfirmasi soal ini, Kepala Sub Bagian Kesejahteraan Mahasiswa, Iin, mengatakan bahwa kuota yang diberikan oleh Dikti memang hanya 11 saja. Justru ia membantah pernyataan Fendi soal kuota BBM dan PPA dari Dikti sebanyak 20. “Pak Fendi enggak tahu apa-apa,” katanya.

Dari kuota itu, maka pembagian relatif rata untuk BBM dan PPA, di FISIP tiap jurusan, berarti kuotanya mengerucut hanya dua saja. Satu untuk BBM, sisanya untuk PPA. Namun, ada satu jurusan yang kemungkinan punya tiga kuota. 

Kebijakan pengumuman adanya beasiswa di FISIP sendiri amatlah tertutup. Ade, staf SBAP yang mengurus soal bantuan ini mengaku akan kerepotan bila memasang infomasi tentang beasiswa. “Bayangkan, jatah beasiswa yang hanya sedikit harus diperebutkan 1000 lebih mahasiswa FISIP,” katanya.

Karenanya, kebijakan pemberian beasiswa di FISIP pun rasanya timpang. Wakil Dekan III lebih memilih 11 jatah tersebut, 8 diantaranya diberikan untuk seorang dari tiap lembaga kemahasiswaan, sisanya untuk mahasiswa biasa. Ini menjadi aneh, ketika pengajuan dari mahasiswa tidak jelas. Sistem 5 berbanding 6 pada pembagain jenis beassiwa maka akan terlihat samar. Terdapat kemungkinan aktivis pun mencaplok beasiswa berjenis bantuan bagi pelajar kurang mampu, tanpa mementingkan objektivitas siapa yang lebih berhak.

Namun, yang paling perlu ditelusuri oleh mahasiswa adalah kebenaran jatah yang diberikan oleh Dikti. Apakah benar dari yang asalnya 20 menyusut jadi 11 kuota saja? Bahayanya, ditakutkan ada birokrat yang sengaja cari keuntungan, mengambil sisa jatah beasiswa, dengan cara membuat sebundel berkas kelengkapan fiktif. (Fajar) 

Catatan Redaksi: Sebelumnya berita ini pernah diterbitkan di Majalah Pasoendan No. 15/Juni/2014 ISSN: 1441-1756







Tidak ada komentar