Atmosfer Akademik
Opini, Khairul -- Awal yang sulit adalah ketika kita dihadapkan oleh sesuatu yang tidak kita mulai. Malam sebelum tulisan ini saya tuliskan saya menghadiri sebuah acara seremonial, yang di dalam acaranya ada sebuah stadium general oleh salah satu calon penerima phd di Jerman. Dia bercerita tentang dinamika perkuliahan disalah satu perguruan tinggi ternama di kota kembang ini. Singkat cerita isi pidatonya lah yang menginspirasi tulisan ini.
Kampus yang dimaknai sebagai tempat berkutatnya manusia-manusia yang ingin berintelektual, hal ini harus didukung oleh beberapa aspek pendukung untuk terciptanya sebuah harapan dari manusia-manusia yang sedang berdialektik dengan displin ilmunya. Sehingga segala kebutuhan dari seorang subjek utama (mahasiswa) dari kampus harus terpenuhi.
Jika aspek-aspek ini terpenuhi maka kita sebagai mahasiswa akan merasa terwadahi oleh kampus, begitu juga kebalikannya. Namun pertanyaan akan muncul jika semua aspek sudah terpenuhi, mampukah kita mengembannya? Karena asumsi saya tentang kampus, dengan apa yang sudah didapat saja, kita mahasiswa belum mampu menjalankannya apalagi mengubahnya.
Karena kita berada dikampus yang di penuhi oleh manusia-manusia yang berdialektik maka aspek pertama yang harus dipenuhi adalah aspek keilmuan. Menurut Imam Al-Ghazali dalam buku ihya ‘ulumuddin pada bab pertama ― dari Mu’adz bahwa ia berkata, “ Belajarlah kalian akan ilmu, mempelajarinya karena Allah sangat berat, menuntutnya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkanya kepada orang yang belum mengetahuinya adalah sedekah, mengeluarkannya untuk ahlinya adalah taqqarub atau mendekatkan diri”.
Sudah menjadi hal penting terkait ilmu dalam dunia kampus, sehingga dari setiap aktivitas yang terjadi dikampus haruslah mengandung suatu unsur keilmuan. Ketika kita sebagai subjek utama dari kampus sudah tidak lagi berilmu untuk apa lagi adanya kampus. Aspek keilmuan ini harus dibangun dari setiap aktivitas mahasiswa yang basisnya terdapat di kampus, sehingga akan menghasilkan sebuah frame berfikir yang sama seperti apa yang menjadi visi misi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan, terlepas dari kemampuan individu dalam mengekplor ilmunya. Sehingga nantinya mahasiswa dapat mengelaborasi ilmu yang didapatnya untuk dirinya dan semoga menjadi konsumsi masyarakat.
Untuk dapat mengolaborasi ilmu, aspek lingkungan juga berpengaruh penting dalam membangun sebuah pola-pola kebiasaan mahasiswa. Minimal mahasiswa untuk mendapat gelar sarjana membutuhkan waktu 3 tahun 8 bulan, dalam kurun waktu tersebut akan terbangun sebuah bentuk-bentuk interaksi sosial antar subjek dikampus. Sedikit mengutip dari buku Setangkai Bunga Sosiologi (1964;177), bentuk-bentuk interaksi sosial itu dapat merupakan “kerjasama” (co-operation), tetapi dapat juga berbentuk “persaingan” (competition), bahkan dapat menjadi “pertentangan atau pertikaian” (conflict) ― suatu keadaan selesainya pertikaian ini yang berupa “working relationship” di sebut akomodasi (accomodation)”. Ke-empat hal tersebutlah yang menjadi rutinitas kita dikampus.
Walau pada kenyataanya dalam lingkungan kampus terdapat kelompok tertentu yang dominan ini bukan menjadi suatu permasalahan, maka ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu menjadi masyarakat ko-operatif atau menjadi masyarakat yang kompetitif, kedua halnya tetap memiliki nilai yang positif. Ruang lingkup kampus baik sarana dan prasarana haruslah bergerak linear dari apa yang dibutuhkan. Dinamika yang terbangun dalam lingkungan kampus juga akan mempunyai nilai timbal-balik terhadap subjek. Sehingga apa yang kita lakukan dilingkungan itulah yang kita dapat dikampus, “Like seems democrasy”.
Aspek terakhir yang menurut saya paling penting yaitu aspek pembinaan mahasiswa. Asumsi dasar dari saya terkait persoalan mahasiswa, mahasiswa tidak mengerti apa yang diajarkan dosen dan mahasiswa kurang terpenuhi keinginannya dalam menggali ilmu. Dari asumsi saya ini, semua terjadi karena kurangnya pembinaan mahasiswa oleh pihak terkait, kita sepakatin saja menyebutnya dosen. Ada selingtingan informasi bagi orang yang mau memasuki zaman perkuliahan yang mengatahkan “Ketika kuliah nanti kita yang nyari dosen bukan dosen yang nyari kita” persoalanya baru terjadi jika kita menyepakati kembali statemen diatas, “Dosen yang dicari tidak ada atau tidak ada dosen yang mau dicari” lantas dari mana kita mendapatkan ilmu seperti yang kita harapkan? Sehingga perlu kiranya seuatu pembinaan yang intens dari dosen untuk mengeksplor kemampuan mahasiswanya agar dapat berkembang lagi. Fenomena yang terjadi adalah tugas dosen hanya sebatas memberikan materi dikelas ataupun memberikan bimbingan kepada mahasiswa hanya ketika mau mengerjakan skripsi.
Pembinaan mahasiswa yang saya maksud disini adalah pembinaan personal individu mahasiswa yang paling mungkin dilakukan secara kolektif. Pembinaan yang intens akan menciptakan sebuah “watak” mahasiswa FISIP. Seperti yang saya jelaskan di atas yaitu bergerak dari frame berpikir yang sama. Lebih lanjut tentang pembinaan mahasiswa oleh dosen ialah mahasiswa mampu dioptimalkan semaksimal mungkin kemampuan-kemampuan dari mahasiswa dan pada akhirnya juga ini bernilai positif juga bagi kampus karena dengan pembinaan yang baik realitas yang terbangun di kampus menjadi undercontrol.
Aspek-aspek tersebut yang seharusnya ada di “Atmosfer Akademik”, masing-masing dari aspek ini harus sinergis satu sama yang lainnya. Lagi pula aspek ini juga menyangkut seperti apa yang ada di Tri Dharma Perguruan Tinggi, ilmu sebagai aspek awal dari pendidikan dan kampus sebagai laboratorium tempat kita melakukan penelitian, serta dengan pembinaan yang baik akan membuat sebuah terapan displin ilmu yang sesuai di masyarakat. (Muhammad Khairul Afif, Prodi Hubungan Internasional 2013)
Kampus yang dimaknai sebagai tempat berkutatnya manusia-manusia yang ingin berintelektual, hal ini harus didukung oleh beberapa aspek pendukung untuk terciptanya sebuah harapan dari manusia-manusia yang sedang berdialektik dengan displin ilmunya. Sehingga segala kebutuhan dari seorang subjek utama (mahasiswa) dari kampus harus terpenuhi.
Jika aspek-aspek ini terpenuhi maka kita sebagai mahasiswa akan merasa terwadahi oleh kampus, begitu juga kebalikannya. Namun pertanyaan akan muncul jika semua aspek sudah terpenuhi, mampukah kita mengembannya? Karena asumsi saya tentang kampus, dengan apa yang sudah didapat saja, kita mahasiswa belum mampu menjalankannya apalagi mengubahnya.
Karena kita berada dikampus yang di penuhi oleh manusia-manusia yang berdialektik maka aspek pertama yang harus dipenuhi adalah aspek keilmuan. Menurut Imam Al-Ghazali dalam buku ihya ‘ulumuddin pada bab pertama ― dari Mu’adz bahwa ia berkata, “ Belajarlah kalian akan ilmu, mempelajarinya karena Allah sangat berat, menuntutnya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkanya kepada orang yang belum mengetahuinya adalah sedekah, mengeluarkannya untuk ahlinya adalah taqqarub atau mendekatkan diri”.
Sudah menjadi hal penting terkait ilmu dalam dunia kampus, sehingga dari setiap aktivitas yang terjadi dikampus haruslah mengandung suatu unsur keilmuan. Ketika kita sebagai subjek utama dari kampus sudah tidak lagi berilmu untuk apa lagi adanya kampus. Aspek keilmuan ini harus dibangun dari setiap aktivitas mahasiswa yang basisnya terdapat di kampus, sehingga akan menghasilkan sebuah frame berfikir yang sama seperti apa yang menjadi visi misi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan, terlepas dari kemampuan individu dalam mengekplor ilmunya. Sehingga nantinya mahasiswa dapat mengelaborasi ilmu yang didapatnya untuk dirinya dan semoga menjadi konsumsi masyarakat.
Untuk dapat mengolaborasi ilmu, aspek lingkungan juga berpengaruh penting dalam membangun sebuah pola-pola kebiasaan mahasiswa. Minimal mahasiswa untuk mendapat gelar sarjana membutuhkan waktu 3 tahun 8 bulan, dalam kurun waktu tersebut akan terbangun sebuah bentuk-bentuk interaksi sosial antar subjek dikampus. Sedikit mengutip dari buku Setangkai Bunga Sosiologi (1964;177), bentuk-bentuk interaksi sosial itu dapat merupakan “kerjasama” (co-operation), tetapi dapat juga berbentuk “persaingan” (competition), bahkan dapat menjadi “pertentangan atau pertikaian” (conflict) ― suatu keadaan selesainya pertikaian ini yang berupa “working relationship” di sebut akomodasi (accomodation)”. Ke-empat hal tersebutlah yang menjadi rutinitas kita dikampus.
Walau pada kenyataanya dalam lingkungan kampus terdapat kelompok tertentu yang dominan ini bukan menjadi suatu permasalahan, maka ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu menjadi masyarakat ko-operatif atau menjadi masyarakat yang kompetitif, kedua halnya tetap memiliki nilai yang positif. Ruang lingkup kampus baik sarana dan prasarana haruslah bergerak linear dari apa yang dibutuhkan. Dinamika yang terbangun dalam lingkungan kampus juga akan mempunyai nilai timbal-balik terhadap subjek. Sehingga apa yang kita lakukan dilingkungan itulah yang kita dapat dikampus, “Like seems democrasy”.
Aspek terakhir yang menurut saya paling penting yaitu aspek pembinaan mahasiswa. Asumsi dasar dari saya terkait persoalan mahasiswa, mahasiswa tidak mengerti apa yang diajarkan dosen dan mahasiswa kurang terpenuhi keinginannya dalam menggali ilmu. Dari asumsi saya ini, semua terjadi karena kurangnya pembinaan mahasiswa oleh pihak terkait, kita sepakatin saja menyebutnya dosen. Ada selingtingan informasi bagi orang yang mau memasuki zaman perkuliahan yang mengatahkan “Ketika kuliah nanti kita yang nyari dosen bukan dosen yang nyari kita” persoalanya baru terjadi jika kita menyepakati kembali statemen diatas, “Dosen yang dicari tidak ada atau tidak ada dosen yang mau dicari” lantas dari mana kita mendapatkan ilmu seperti yang kita harapkan? Sehingga perlu kiranya seuatu pembinaan yang intens dari dosen untuk mengeksplor kemampuan mahasiswanya agar dapat berkembang lagi. Fenomena yang terjadi adalah tugas dosen hanya sebatas memberikan materi dikelas ataupun memberikan bimbingan kepada mahasiswa hanya ketika mau mengerjakan skripsi.
Pembinaan mahasiswa yang saya maksud disini adalah pembinaan personal individu mahasiswa yang paling mungkin dilakukan secara kolektif. Pembinaan yang intens akan menciptakan sebuah “watak” mahasiswa FISIP. Seperti yang saya jelaskan di atas yaitu bergerak dari frame berpikir yang sama. Lebih lanjut tentang pembinaan mahasiswa oleh dosen ialah mahasiswa mampu dioptimalkan semaksimal mungkin kemampuan-kemampuan dari mahasiswa dan pada akhirnya juga ini bernilai positif juga bagi kampus karena dengan pembinaan yang baik realitas yang terbangun di kampus menjadi undercontrol.
Aspek-aspek tersebut yang seharusnya ada di “Atmosfer Akademik”, masing-masing dari aspek ini harus sinergis satu sama yang lainnya. Lagi pula aspek ini juga menyangkut seperti apa yang ada di Tri Dharma Perguruan Tinggi, ilmu sebagai aspek awal dari pendidikan dan kampus sebagai laboratorium tempat kita melakukan penelitian, serta dengan pembinaan yang baik akan membuat sebuah terapan displin ilmu yang sesuai di masyarakat. (Muhammad Khairul Afif, Prodi Hubungan Internasional 2013)
Beri Komentar