Header Ads

Pemira FISIP Unpas, Ekspresi Kemiskinan Imajinasi Politik

Opini, Rifqi -- Slogan mahasiswa sebagai agen perubahan sudah terdengar membosankan untuk kita, segala macam bentuk perubahan telah kita bayangkan sejak pertama kali datang ke kampus dengan menyandang status sebagai seorang mahasiswa. Idealisme menjadi kosakata yang tidak-pernah-tidak untuk selalu diucapkan dalam setiap perbincangan tentang politik.

Politik adalah cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Berbagai cara untuk dapat berkuasa menjadi lebih utama, ketimbang tujuan dari politik itu sendiri. Oleh karenanya, korupsi, money politics dan lain sebagainya  menjadi sebuah keniscayaan ketika membicarakan tentang aksi real politics (politik di ruang publik).

Begitulah politik yang kita pahami jika hanya mendapatkannya dari dalam ruang kelas. Pengulangan dari pemaknaan atas politik dilahap mentah-mentah dan menolak untuk mempunyai pemahaman yang berbeda. Lalu bermimpi tentang sebuah perubahan?

Hal tentang perubahan itu hanya menjadi sebuah mimpi jika tidak mampu untuk mengimajinasikan yang lain. Kemampuan untuk berfikir terkubur oleh kesibukan cara pandang yang mekanis (bernalar). Berfikir mensyaratkan refleksi dan imajinasi, sebaliknya, dalam penalaran tidak ada refleksi, hanya melanggengkan kontinuitas tradisi. Maka dari itu, perubahan menjadi kosakata yang kontradiktif jika diletakkan beriringan dalam satu paragraf dengan kata “bernalar”.

Pemira: Cara Berpikir Mekanis


Pemilihan Umum Raya (Pemira) menjadi sebuah pesta perayaan tradisi berpolitik yang sia-sia, tidak berguna dan pemborosan anggaran dana kemahasiswaan. Pemira FISIP adalah hasil dari duplikasi sistem Pemilu negara pada umumnya (Demokrasi Liberal). Dengan mekanisme multipartai, Pemira dianggap menjadi locus bagi terciptanya iklim demokratis di dalam kampus. Institusi/lembaga yang ada di dalamnya seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa), dan HMJ(Himpunan Mahasiswa Jurusan) adalah duplikasi dari sistem politik di luar sana yang setiap hari kita caci-maki.

Entah ketika anggota parlemen tidak dianggap bekerja untuk rakyat atau ketika pejabat terseret kasus korupsi, kemudian menggantungkan harapan untuk untuk bisa memperbaikinya melalui cara yang sama, menggunakan sistem yang sama, hidup dalam nilai dan norma yang sama pula dengan membawanya kedalam kampus.

Hal ini persis seperti yang dianjurkan oleh Francis Fukuyama dalam The Origins of Political Order, di mana negara dunia ketiga termasuk Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto mengadopsi ide yang ditawarkan Fukuyama yaitu penekanan terhadap penataan kelembagaan atau institusi adalah prioritas utama, walaupun dijalankan melalui pemaksaan atas nama orang banyak. Disitulah otoritarianisme dalam sejarah modern Indonesia bermula.

Jika menganggap Pemira sebagai sebuah laboratorium politik, apakah tidak terlalu dini untuk mengatakan bahwa sistem politik kampus hari ini adalah yang terbaik dan harus tetap dilestarikan atau mungkin ketidak-mampuan untuk berfikir, karena eksperimen dalam sebuah laboratorium tidak selalu mendapat hasil final dari percobaan pertama.

Begitu pun dengan politik, Pemira FISIP dengan sistem multipartai untuk memilih Ketua Himpunan sampai presiden BEM bukanlah satu-satunya cara atau mekanisme, ada banyak lainnya. Konflik yang dikemas dengan cantik melalui istilah “rivalitas” adalah prasyarat utama dalam arena kontestasi politik itu, setiap partai saling berhadapan untuk dapat berkuasa dengan berbagai cara.

Memecah-belah mahasiswa adalah hal utama dalam sistem ini, bukan mempersatukannya untuk mencapai tujuan untuk kepentingan bersama. Mungkin, akan sedikit berbeda jika setiap partai mempunyai keunikan ide (ideologis) yang menjadi motor pengorganisasian partai dengan pendidikan politik yang unik, nyatanya semua partai yang ada sampai saat ini berangkat dari semangat yang sama, yaitu semangat konformisme dan pragmatisme. Implikasi terburuknya adalah pemahanan akan sistem yang saat ini kita jalankan adalah sistem yang terberi dengan begitu saja.

Menundukan dan memerintah tidak akan pernah lepas dari agenda utama setiap partai politik yang berada di kampus, kemudian berlaga naif ketika berkampanye untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dengan mengumbar janji membawa perubahan demi kepentingan bersama. Setelah berada ditampuk kekuasaan, mengatur urusan mahasiswa lainnya (publik) dengan parameter-parameter pribadi atau partai.

Hal ini terus berulang, lantas dimana letak perubahan itu sendiri? Yang terjadi hanyalah pergantian nama pimpinan lembaga kemahasiswaan dan mahasiswa lainnya hanya menjadi penonton dari pergulatan para mahasiswa yang haus kekuasaan, sama persis seperti apa yang kita saksikan diluar sana.

Stagnasi Dunia Akademik

Di sini pula sumber utama kemandegan dinamika politik dan ranah yang paling penting yaitu iklim akademik. Debat kusir akan lebih sering kita jumpai daripada forum diskusi, kemandegan dunia akademik di kampus kita pun bisa dilihat dari berapa banyak konferensi, simposium, seminar yang berskala internasional, menghadirkan para intelektual kenamaan dunia, atau bahkan memang belum pernah diselenggarakan. Kita hanya akan melihat poster undangan diskusi atau seminar dengan bintang tamu para pejabat, entertainer dan yang bersifat rekreatif lainnya, berbayar pula. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu, namun apakah tidak pernah terbayangkan untuk berkaca mengukur kualitas akademik di kampus kita.

Pemira disambut dengan gegap-gembita sebagai sebuah perayaan atas keberagaman, namun yang terjadi malah meruncingkan partikularitas. Kita akan lebih disibukkan dengan gosip Presiden Partai A ternyata merupakan utusan Spiderman, Partai B ternyata di danai oleh gangster lokal. Bagaimana dengan kelanjutan aspirasi mahasiswa lainnya tentang koleksi buku di perpustakaan, fasilitas penunjang kegiatan akademik lainnya? Mungkin tidak pernah terpikirkan sama-sekali, bahkan diskursus tentang kebebasan akademik tidak pernah terdengar sama-sekali, tertutupi oleh riuh-ramai gosip politik lokal

Eksklusivitas Lembaga Kemahasiswaan

Eksklusivitas Lembaga Kemahasiswaan (LKm) seperti BEM, DPM dan HMJ juga dibentuk melalui sistem ini, padahal semua kegiatan LKm tersebut tidak akan bisa berjalan tanpa uang kuliah yang tidak-pernah-tidak semua mahasiswa bayarkan. Berbagai fasilitas yang didapatkan hanya digunakan untuk memanjakan diri sendiri, begitupun dengan informasi tentang segala hal bergantung pada mood pimpinan lembaga/partai, entah itu informasi mahasiswa berprestasi, anggaran dana kegiatan mahasiswa atau kegiatan lainya termasuk kegiatan akademik. Hal itu dianggap sebagai keistimewaan dari ke-berkuasaan atas mahasiswa lainnya. Sama seperti para anggota parlemen yang sering kita caci-maki.

Secara tidak langsung, sistem politik di kampus hari ini ikut mencetak calon koruptor-koruptor baru, mempraktikan oligarki dalam bentuknya yang paling imut dan anti-kritik. Bukankah ekses negatif itu yang kita lawan dengan idealisasi kita tentang politik, namun bagaimana jika para politisi kampus itu melakukan hal yang sama, berpolitik dengan logika yang sama persis seperti para politikus di luar sana? Tentu harus ada perlawan juga.

Tidak ada kebaruan, Sekedar Bermimpi tentang Perubahan

Semua orang di dalam partai politik mengklaim dirinya terlibat dalam suatu babak sejarah dalam politik kampus, karena pernah duduk sebagai Presiden BEM, Ketua Himpunan, anggota DPM. Namun, tidak pernah ada sejarah baru yang tercipta karena yang ada hanyalah menelurkan tradisi politik lama dalam waktu yang disini dan ke-disinian. Sejarah mempunyai awalan dan akhiran, berdimensi masa lalu dan masa kini kemudian membentuk kesadaran historis, sedangkan kita hari ini hanya hidup dalam cara berpikir lama. Tidak ada refleksi dan koreksi dari sistem, tidak ada kebaharuan sama sekali, perubahan dimaknai hanya sekedar cara baru minum kopi. Kemiskinan imajinasi politik mememukan ekspresinya dalam hingar bingar Pemira FISIP.

Mahasiswa lainnya yang tidak ikut dalam riuh-ramai kontestasi politik kampus hanya dianggap sebagai sekumpulan tubuh yang diklaim sebagai asumsi keterwakilan mereka di Lembaga Kemahasiswaan. Tidak usah terlalu jauh mempertanyakan kapabilitas para pimpinan LKm jika cara berjalannya sistem sudah kita ketahui, menelanjangi logika dari sistem politik kampus yang hari ini berjalan dan mengimajinasikan bentuk baru pengorganisasian politik yang benar-benar baru menjadi sangat penting jika yang menjadi tujuan kita adalah sebuah transformasi. (Rifqi Fadhlurrakhman, Prodi Hubungan Internasional 2012, Editor CSS Journal)

Storytelling reveals meaning without commiting the error of defining it - Hannah Arrendt

Tidak ada komentar