Header Ads

Pantaskah Dosen Selalu Salahkan Mahasiswa?

Opini, Yogi Jati -- Ketika menatap masa depan setelah lulus sekolah menengah, tentu banyak siswa yang menginginkan atau berharap melanjutkan ke perguruan tinggi—kemudian berharap kualitas diri, baik dari ilmu pengetahuan maupun kedewasaan akan lebih baik lagi. Pembentukan karakter selama duduk di perguruan tinggi tentu menjadi suatu hal yang tidak akan dilupakan, bagaimana bertemu dengan teman baru, bertemu dengan pengajar baru yang berganti nama menjadi dosen, dan beberapa materi atau mata kuliah yang akan terbilang baru atau asing. Pun orang tua yang menyerahkan dan memercayai anaknya untuk menimba ilmu di perguruan tinggi mengharapkan anaknya dapat menjadi orang yang sukses, dengan pola pemikiran yang lebih dewasa, menemukan jati diri dan peduli terhadap lingkungan sosial serta mampu mengangkat derajat keluarga yang membanggakan maupun untuk bangsa dan negara, bahkan banyak orang tua yang rela merogoh kocek sampai ratusan juta agar anaknya dapat sekolah di perguruan tinggi ternama atau elit. Harapan itu membuat semua orang tua merasa yakin anaknya akan sukses dikemudian hari, kelak anaknya lulus dari perguruan tinggi dan bergelar sarjana.

Mahasiswa masih butuh didikan dan bimbingan dari dosen dengan sistem yang diatur oleh kampus sebagai kawah candradimuka atau tempat menimba ilmu para calon sarjana kelak. Bimbingan dan didikan yang didapat dari dosen akan membentuk pola pikir bagi mahasiswanya nanti, bahkan tidak hanya dosen yang akan membentuk karakter dan pola pikir dari mahasiswanya itu, tetapi dari sistem yang dibuat oleh kampus pun akan menyumbang karakter dan pola pikir mahasiswa itu.


Kedisiplinan yang diajarkan dosen secara tidak langsung bakal menerap pada mahasiswanya karena ketakutan melanggar aturan dosennya, begitupun dengan sistem yang diterapkan kampus, dengan aturan yang tegas, secara tidak langsung mahasiswa pun akan patuh dan terdidik oleh peraturan tersebut. Dengan seperti itu proses kedisiplinan waktu dan aturan akan terus melekat dan akan dibawa sampai lulus nanti.


Saya beri contoh bagaimana pendidikan—pendidikan militer seperti akademi kepolisian, akademi militer atau pendidikan mental ala militer lainnya, bagaimana mereka mendidik siswanya untuk disiplin dan mampu berpikir keras serta dewasa dan mempunyai jiwa kepemimpinan. Hal tersebut memang teruji tatkala banyak pemimpin negara dan daerah yang memang banyak lulusan dari pendidikan militer tersebut, dengan banyaknya purnawirawan yang menjadi pemimpin di negara Indonesia, karena mereka mempunyai jiwa kepemimpinan dan siap terhadap tugas yang diembannya. Hal tersebut mempertegas bahwa sistem dan pendidik menjadi salah satu faktor utama dalam membentuk karakter bagi mahasiswa, agar mahasiswa bisa menjadi lebih disiplin dan dewasa serta mempunyai jiwa kepemimpinan.


Namun sekarang, terkadang dosen yang selalu menyalahkan mahasiswa sebagai biang keladi dari sumber masalah yang ada.  Mahasiswa sering telat masuk kelas,  mahasiswa sering titip absen, mahasiswa malas belajar bahkan jarang masuk kuliah saking malasnya karena kurang teguran atau sanksi dari dosennya. Padahal fenomena saat ini bahkan saya yakin sudah lama sekali dosen atau pendidik atau pengajar yang harusnya berkaca serta merenungi hal tersebut. Banyak sekali dosen yang memang memberikan perilaku– perilaku yang kurang terpuji dan sangat tidak pantas untuk diteladani bagi mahasiswanya. Sebut sajalah banyak dosen yang merokok sambil mengajar dikelas, banyak dosen yang sering telat untuk mengajar dengan berbagai alasan seperti macet, ada rapat, nganter anak, dan sebagainya.


Ini yang harus jadi perhatian bagi para pendidik atau pengajar di perguruan tinggi, bahwa sikap atau perilaku dosen yang kurang mendidik dengan baik lantas menjadi alasan mengapa mahasiswa berbuat ke arah atau perilaku yang negatif, karena seyogyanya dosen yang harus membimbing dan mendidik mahasiswanya untuk menjadi insan yang lebih disiplin, kritis, dewasa, mental yang kuat, mempunyai jiwa kepemimpinan dan mempunyai kepedulian serta kepekaann terhadap aspek–aspek sosial yang terjadi di masyarakat. Kali ini justru yang diperlihatkan dosen sangatlah bertentangan dengan apa yang diharapkan, yang tidak kalah anehnya adalah mahasiswa kemudian dicap salah atau dijadikan biang kesalahan dari segala sumber masalah moral dan apapun itu namanya yang menjadi sangat memprihatinkan.


Ada pepatah mengatakan bahwa buah yang jatuh tidak mungkin jauh dari pohonnya, begitupun sekiranya kita menganggap bahwa apa yang terjadi didalam diri mahasiswa Indonesia saat ini tidak jauh dari perilaku–perilaku pendidik dari dosennya tersebut. Jadi, sebenarnya pantaskah dosen selalu menyalahkan mahasiswanya? Jawabannya bagaimana kita dapat berpikir dan saling mengerti terhadap masalah tersebut dengan saling berbenah diri satu sama lain dari berbagai perangkat yang terkait.


Banyak pihak yang menganggap bahwa karakter mahasiswa menjadi tanggung jawab terbesar orang tua. Memang pernyataan tersebut sekiranya benar, tetapi yang harus diperhatikan adalah bagaimana suatu aturan yang baku dan tegas serta kedisiplinan yang sangat kuat dengan melatih mental–mental mahasiswa supaya lebih kuat dan dewasa, harus dilakukan pendidikan tinggi, maka dengan seperti itu tingkah laku dan karakter yang ada dalam diri mahasiswa akan berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ini menjadi fokus perhatian untuk membangun jatidiri  anak bangsa Indonesia agar lebih produktif, berani, disiplin, kritis, dewasa, mempunyai jiwa kepemimpinan, mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap aspek–aspek sosial yang ada di masyarakat saat ini. Semua pihak dari mulai orang tua, dosen, lembaga pendidikan dan mahasiswanya itu sendiri dengan dibarengi lingkungan yang baik pula maka kedepannya bangsa ini akan menciptakan anak–anak muda yang kreatif, mandiri dan siap serta mampu bersaing dengan bangsa lain. Semua pihak harus saling mendukung untuk mewujudkan Indonesia yang maju, Indonesia yang bangkit, Indonesia yang mandiri, dan Indonesia yang jaya. Semoga bermanfaat. (Yogi Jati, Gubernur Hima-AN 2014-2015)

Tidak ada komentar