Oportunisme Manajemen Birokrat!
Opini, Dekifad Mutrifa -- Keterbatasan
jumlah ruangan kelas, jam mengajar, dan tenaga dosen yang tersedia di kampus
tercinta FISIP Unpas, tidaklah mampu ditampung lagi oleh kapasitas dan kapabilitas
dari manajemen birokrat dalam menangani polemik—ruang kelas versus jumlah
mahasiswa secara kuantitas—tersebut dalam implementasi selayaknya universitas
“Pilihan Pasti Setiap Generasi”. Jika kita berangkat dari indikator banyaknya
mahasiswa FISIP unpas hari ini yang hampir setiap tahun membludak secara jumlah,
dengan pertimbangan yang sampai saat ini belum berani kami bicarakan tanpa
dasar-dasar faktual. Namun bukan bermaksud untuk mencap hasil dari kebijakan
yang telah melahirkan polemik hari ini sebagai sesuatu yang dapat diterima
begitu saja tanpa klarifikasi yang jelas dengan terlalu cepat untuk
diabsolutkan sebagai pernyataan yang tegas untuk kita percaya sebagai
“kebenaran”.
Ada
baiknya menurut hasil penelitian yang kami lakukan, lebih tepatnya menganalisis
sistem pendidikan secara nasional, bahwa akan selalu ada kecenderungan di mana
tempat kerja atau perusahaan (badan usaha) mampu memengaruhi tempat
pendidikan—kampus, dsb—menjadi lahan tumbuh suburnya praktik yang berorientasi pada
kepentingan dunia dagang atau pasar, di mana nila-nilai esensial pendidikan
tersebut akan semakin lama terisolasi dari pembangunan yang berdasarkan
nilai-nilai kemanusiaan, kecuali pada titik di mana semua diorientasikan pada
pasar yang tidak jauh berbicara pada konteks untung-rugi itu sendiri, alhasil
kampus adalah pabrik tenaga kerja itu sendiri.
Dengan
asumsi yang kami berangkatkan di atas, maka menimbulkan kontinuitas asumsi yang
selanjutnya dapat kami simpulkan melalui penafsiran kami, di mana diri kami sebagai
mahasiswa tidak lain adalah sebagai data empiris lapangan itu sendiri yang
memiliki hubungan timbal balik atau interaksionis secara langsung maupun tidak
terhadap kebijakan-kebijakan yang lahir dari kondisi riil produksi dan komsumsi
pasar tenaga kerja nasional juga internasional, kebijakan negara UU Pendidikan
Tinggi serta kebijakan kampus itu sendiri yang semakin lama dapat kami katakan
semakin berorientasi kepada pasar itu, mahasiswa bukan hanya berlaku sebagai
pasar tenaga kerja yang akan dilempar ke dunia “rimba bisnis”—yang seringkali
amoral secara realitas melainkan juga komoditas atau konsumen dari pasar badan
pendidikan kampus swasta FISIP Unpas.
Ada
baiknya pula tulisan ini kami rincikan, agar pembahasan masuk pada arah yang kontekstual
terhadap kebijakan birokrat yang oportunis dan tertutup dengan menerima
kuantitas jumlah mahasiswa yang tidak sebanding kapasitas ruangan kelas. Ya, jelas total jumlah satu kelas 68
orang (menurut foto diatas), bukanlah hal yang masuk akal bagi kami para
mahasiswa FISIP Unpas, namun jelas hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah juga
bagi para “juru bicara” birokrat untuk dapat merasionalisasi polemik yang lahir
dari hasil kebijakan yang selama ini telah diimplementasikan. Namun, jelas
dengan adanya pembludakan dengan ruangan kelas yang terbatas dan dipaksakan
padatnya seisi ruangan kelas, serta waktu belajar sebagai jalan akhir atau solusi,
maka menurut asumsi yang kami berangkatkan telah adanya proses untuk mereduksi
atau mengurangi anggaran biaya per-SKS yang harus dikeluarkan oleh para
manajerial (bagus jika dalam konteks penekanan harga untuk mencapai
optimalisasi profit perusahaan pendidikan swasta) untuk dapat memaksimalkan
(pemerasan) kinerja dosen-dosen dalam mencapai target di samping keterbatasan
kuantitas dosen-dosen tersebut.
Namun
itu bukanlah hal mudah untuk kami mengerti, terutama bagi mahasiswa yang selama
ini tidak mendapatkan kesetaraan informasi hasil kebijakan tersebut melainkan
hanya mampu menerima sebagai hal yang bukan “urusan kami” tetapi tetap
melaksanakan kewajibannya dengan membayar kuliah itu sendiri, yang jelas
bukanlah uang yang datang dengan sendirinya melainkan “uang” yang didapatkan
dari kampung masing-masing melalui hasil kerja keras orang tua, yang berharap
akan keberhasilan kami di kampus yang baru saja melakukan implementasi
kebijakan atas pemadatan ruangan kelas.
Jelas
kami rasa tidaklah perlu untuk berpanjang lebar untuk menggambarkan kepada para
birokrat atau pembuat kebijakan yang telah diimplementasikan tersebut untuk
dapat memahami bagaimana efektivitas pengajaran berjalan dengan kondisi yang
sangat tidak masuk akal dalam mendukung kinerja pengajaran yang baik. Sebelum
mengakhiri tulisan ini ada baiknya juga untuk kami mengatakan bahwa setiap dari
struktur bahasa yang kami susun serapi mungkin di atas akan selalu dihiasi oleh
kata perjuangan untuk sadar melawan atas ketidaksetaraan yang terjadi diantara
yang memimpin dan mengelola (birokrat) dengan yang dipimpin serta dikelola
(mahasiswa) dimana perlawanan tersebut jelas dilakukan sebagai hal yang
konstruktif—bukan destruktif/teror—dan di samping kami juga berkontribusi untuk
tetap melaksanakan “quality control”
dengan mendeskripsikan realitas yang terjadi, dan jelas realitas tersebut
bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dimengerti secara akal sehat nan logis
serta masuk akal, terkecuali bagi kami realitas itu sendiri sesuatu hal yang telah melangkahi akal sehat
kami sebagai layaknya manusia yang berpikir organik (bukan mekanik menerima
begitu saja).
Beri Komentar