Header Ads

Pemerintahan Mahasiswa FISIP Unpas Kacau

Opini, Iwan Falset -- Miniatur Indonesia, acapkali disuarakan dengan bangganya oleh elit kampus menyoal kehidupan kemahasiswaan di FISIP Unpas. Momen seperti ospek mahasiswa baru, rekrutmen anggota Lembaga Kemahasiswaan (Lkm), sampai titik Pemilu Raya mahasiswa, baik Dekanat hingga pengurus LKm seolah tak ingin melewatkan istilah ini untuk disampaikan kepada mahasiswa lainnya lantaran ingin menunjukkan adanya bentuk pemerintahan di tingkat mahasiswa. Hal ini, merupakan model pendidikan politik yang ada di FISIP Unpas.

Layaknya negara, Lkm seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) bertindak laksana istana yang diisi Presiden RI bersama menteri-menterinya. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) beraksi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat RI, dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) berlaga menjadi eksekutif tingkat Provinsi dengan Gubernur sebagai kepalanya. Adanya pemerintahan tingkat mahasiswa ini jelas menyajikan sarana potensial bagi mahasiswa dalam menerapkan ilmu sosial-politik yang dipelajarinya di kelas, dan itu pun dirumuskan menyerupai gambaran sederhana tentang kehidupan berpolitik di Indonesia.

Institusi Lkm didesain nyaris serupa institusi Negara Indonesia hingga perangkat  aturan hukum dan fungsi-fungsinya. Mahasiswa wajib tahu bahwa DPM sebagai wakil mahasiswa bertugas mengawasi lembaga eksekutif yaitu BEM dan HMJ. Sementara dua lembaga terakhir tadi berfungsi sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan yang harus berdasarkan atas kehendak mahasiswa FISIP Unpas sebagai rakyatnya. Mekanismenya dirancang mendekati konsep trias politica John Locke yang disempurnakan Montesquieu.

Keberadaan Lkm di FISIP bukan hanya berwujud ruang yang akan mengakomodir minat dan bakat mahasiswan semata. Tapi dengan adanya LKm ini, patut disadari bahwa eksistensinya menyeruak sebagai postur pendidikan berpolitik melalui pendekatan kelembagaan mahasiswa. Karenanya, LKm menjadi wadah yang potensial mencetak mahasiswa yang kuat secara ilmu kejurusannya dan paham ilmu sosial-politiknya. Makanya,  pemerintahan mahasiswa di satu sisi  dapat menjadi laboratorium mahasiswa FISIP Unpas di samping pengabdian masyarakat.

Miniatur Indonesia di sini, disenyawakan dalam sebuah konsep pendidikan politik. Konsep, di mana pun tentu menghendaki sesuatu yang bernilai ideal meski pada praktiknya, konsep dan praktik terkadang berada dalam situasi yang  tak berbanding lurus, dan itu terbukti dengan situasi pemerintahan mahasiswa FISIP Unpas sekarang ini. Kenyataan menyebutkan bahwa hari ini pemerintahan mahasiswa tengah mengalami kesenjangan cita-cita dan realita. Keadaan semakin kacau. Kali ini, pemerintahan mahasiswa-lah yang mendamba miniatur Indonesia.

Kacau

Bukan hal yang tepat bila detik ini, elit kampus dan mahasiswa percaya bahwa miniatur Indonesia masih dimiliki oleh kita, karena justru sebaliknya-lah, kita yang kali ini mendambakan miniatur Indonesia. Meskipun tata aturan dan hubungan institusi masih seperti Indonesia, namun pada konteks perilaku berpolitiknya amat sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, pemerintahan mahasiswa hari ini tidak berjalan produktif. Pemikiran serta pergerakannya lesu, diikuti dengan program-programnya yang miskin kreasi dan inovasi, tentu hal ini berdampak pada pelayanan kampus yang tak terawasi.

Ini merupakan fenomena yang suram ketika pihak elit Fakultas dan mahasiswa secara bangga ingin menyuguhkan bentuk pemerintahan mahasiswa, namun faktanya elit tadi malah mempertontonkan pendidikan berpolitik yang jauh dari kata terdidik. Mahasiswa non-lembaga bisa saja malah apatis melihat keadaan ini apabila Lkm sama sekali tak pernah merangsang dan mendorong mahasiswa FISIP Unpas untuk peduli demi terciptanya perubahan di kampus meski dalam situasi Lkm yang miris.

Selain untuk sarana pendidikan politik, adanya pemerintahan mahasiswa FISIP Unpas awalnya juga dibangun untuk membuka akses mahasiswa (Lkm) kepada birokrat—Jurusan dan Dekanat—dalam melakukan bargaining ketika kampus membuat kebijakan yang tidak pro-mahasiswa. Melalui mekanisme pemerintahan mahasiswa, akses disistematisasi berdasarkan aturan politik yang dibuat elit mahasiswa untuk menyentuh birokrat. Berikutnya, akses ini memberikan ruang bagi mahasiswa supaya bisa turut berperan menghasilkan kebijakan kampus yang berpihak pada mahasiswa.

Jika berkaca pada kenyataan sekarang, Lkm justru tak menunjukkan tajinya. Eksekutif dan legislatif sama-sama mandul dalam menjalankan kedaulatan mahasiswa FISIP Unpas. Hak-hak mahasiswa untuk mendapat pelayanan kampus menyangkut aspek akademik, fasilitas dan keuangan, serta kemahasiswaan, terkatung-katung di tangan pejabat Lkm. Mahasiswa yang hakikatnya dalam konteks ini menggantungkan kesejahteraannya di kampus pada Lkm seolah dikhianati. Suara mahasiswa diambil saat Pemira, namun ketika mendapatkan tampuk kekuasaan, akses kebijakan tingkat mahasiswa maupun Fakultas malah diacuhkan.

Dalam pemerintahan mahasiswa ini, Lkm yang bertindak sebagai suprastruktur negara seharusnya mampu memainkan otoritasnya sebagai katalisator dinamika kampus. Sebaliknya mahasiswa sebagai infrastruktur negara, juga dituntut memiliki bargaining power dalam merespon peran-peran yang dijalankan oleh LKm. Dengan demikian otoritas yang diperankan oleh LKm tidak akan dijalankan secara sewenang-wenang. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya pertemuan yang harmonis, dinamis, efektif, dan produktif.

Akan tetapi sekarang ini semuanya nihil. Suprastruktur dan infrastruktur negara dalam pemerintahan mahasiswa FISIP Unpas sama sekali tumpul. Mesin politik, penalaran, minat dan bakat hanya berjalan setengah-setengah bahkan tidak sampai setengahnya. Kinerja LKm seolah tak punya landasan dan ini berimplikasi pada Garis Besar Haluan Program Kerja (GBHPK) yang diatur dalam konstitusi LKm  menjadi tak terarah akan dibawa ke mana kemajuan mahasiswa dan kampus FISIP Unpas.

Ketidakjelasan GBHPK Lkm berbuntut pada tidak seimbangnya program kerja yang bersifat akademis dan hiburan. Justru yang terjadi, kegiatan entertainment-lah yang mendominasi lantaran dianggap lebih layak jual. Parameternya terlalu menilai pada untung dan rugi, akibatnya kegiatan hiburan dianggap benefit karena memungkinkan besarnya mahasiswa yang berpartisipasi, sementara kegiatan akademis tidak berlaku demikian. Padahal antara kegiatan akademis dan hiburan tidak bisa dilihat secara hitam dan putih, karena keduanya sama-sama diperlukan.

Mahasiswa harus kuat secara akademis, namun ketika kejenuhan melanda, LKm pun harus memiliki upaya mengatasi rasa jenuh, diantaranya dengan membuat kegiatan hiburan. Namun ketika kegiatan hiburan sudah menjadi kekuatan dominan, ini mengisyaratkan bahwa mahasiswa FISIP hari ini memegang ideologi hura-hura. Tak ada lagi gerakan moral, atau pun garakan politik, yang ada hanya gerakan hedonisme yang teramat sempit.

Apakah kondisi seperti ini dikarenakan adanya ketidakpahaman elemen LKm? Jawabannya tentu bukan, karena yang lebih menentukan adalah faktor kesadaran dan kemauan, termasuk sadar untuk mau juga mau untuk sadar. Apabila jajaran LKm atau mahasiswa secara umum memiliki kemauan, tentu ia akan mencari cara untuk mengetahui apa yang ia rasa tidak paham. Persoalannya kali ini adalah, ketiadaan good will dan political will. Kekacauan pendidikan politik dan budaya akademis bisa diselesaikan apabila ada kemauan politik dan kemauan baik dari Lkm itu sendiri.

Siapa Berperan?

Kekritisan civitas kampus yang melahirkan sebuah wacana pemberontakan dan diskursus pembebasan yang siap menyongsong dan merespon segala perilaku penindasan dan ketidakadilan berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Halaman kampus yang dulu sering digunakan untuk demonstrasi oleh mahasiswa dengan teriakan protes dan statement tuntutan kini berubah sepi. Mahasiswa seperti terkulai lemah, enggan menyikapi beragam masalah nasional atau regional. Tak ada lagi perlawanan bagi para penjahat negeri.

Mahasiswa FISIP Unpas hari ini, hanya pandai bergosip membicarakan selebriti, berfoto selfie mengabadikan kesenenangan diri, berlomba mengetahui tren dan fashion terbaru, gaya hidup atau apapun yang sifatnya materialistis. Mahasiswa harus kembali pada alamnya. Mereka yang animo berdebatnya tinggi, kritis, argumentatif, frontal, terkadang melawan arus. Keadaan harus dibalik, karena mahasiswa adalah insan perubahan yang intelek agar sebutan agent of change benar-benar layak disematkan.

Agar itu terwujud, pihak kampus, jajaran Lkm, dan semua elemen mahasiswa harus berperan. Dimulai dengan menghadirkan sikap mau bergerak, atau dengan bahasa Sunda “ulah dipikiran wae, tapi digawean” yang artinya “jangan dipikirkan terus, tapi dikerjakan”. Semua pihak harus memiliki daya dorong yang saling mengontrol untuk mengembalikan mahasiswa berjalan pada treknya. Terutama Lkm sebagai wadah aspirasi mahasiswa.

Bukan dalam rangka harusnya mahasiswa latah menuntut perubahan. Melainkan mahasiswa harus memiliki sikap atas fenomena sosial, politik, hukum, budaya, dan sebagainya yang terjadi di negeri ini. Pengejawantahannya terserah, asal punya nilai baik yang berguna bagi diri sendiri dan kepentingan orang banyak. Di sini, LKm  sebagai institusi formal mahasiswa yang punya potensi mendorong situasi ke arah yang lebih baik tidak harus terpaku menunggu perintah atau mobilisasi lainnya.

Jangan sampai ketidakpahaman BEM, DPM, dan HMJ untuk melakukan suatu tindakan yang lebih besar manfaatnya masih dibiarkan sebagai kendala. Mahasiswa membutuhkan peran LKm sebagai stimulator gerakan. Berdiam diri dalam ketidakpahaman hanya mencerminkan kebodohan LKm itu sendiri. Jangan sampai LKm dan mahasiswa FISIP Unpas lupa bahwa mahasiswa sejatinya menjunjung tinggi nilai-nilai rasionalitas. Mahasiswa harus pula menolak lupa, bahwa kita di sini adalah jembatan moral dari kelaliman menuju kemaslahatan.
(Iwan Falset) 


Catatan Redaksi:
Mohon maaf kepada pengirim tulisan, opini ini sebelumnya berjudul "BEM Mati, DPM Wafat, HMJ Inalillahi, Mahasiswa Apalagi!" harus diganti karena pertimbangan etis dan sarkasme berbahasa. Terimakasih atas kritik perwakilan mahasiswa. Hidup pers mahasiswa! Tetap nyatakan kebenaran bukan membenarkan kenyataan!

Tidak ada komentar