Dewan Perwakilan Mahasiswa Monolitik, Pemerintahan Mahasiswa FISIP Unpas Menuju Kemunduran
Opini,
Iwan Falset -- Pembelajaran
politik lewat pendekatan praktik lembaga kemahasiswaan menunjukkan keanehan
berpolitik. Pemerintahan mahasiswa FISIP Unpas semakin tak jelas arahnya. Sekarang,
lembaga legislatif Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) secara serampangan membuat
aturan-aturan yang sarat kepentingan ingin melemahkan kewenangan politik
lembaga eksekutif, pers, dan KPU mahasiswa.
Entah apa dasarnya, DPM mencabut hak suara lembaga eksekutif, pers, dan KPU
mahasiswa dalam musyawarah seperti rapat Paripurna juga Musyawarah Dewan
Perwakilan (Musdaperma). Tiga elemen lembaga mahasiswa tersebut hanya memiliki
hak bicara, alhasil proses pengambilan keputusan menjadi monolitik, hanya dikuasai
oleh fraksi partai yang ada di DPM.
Padahal berkaca pada aturan konstitusi Lembaga Kemahasiswaan dua periode
kebelakang, lembaga eksekutif, pers, dan KPU mahasiswa memiliki hak suara dalam
pengambilan keputusan. Tak jelas asal-usulnya, tiba-tiba DPM seenaknya mengubah
konstitusi tanpa melibatkan tiga elemen tadi untuk bersuara dalam pengambilan
keputusan.
Sepihaknya DPM mengubah aturan konstitusi tersebut, pun sebenarnya
merupakan langkah inkonstitusional. Semestinya, jika parlemen memang
berinisiasi menjadikan Paripurna atau Musdaperma dimiliki penuh oleh DPM
termasuk fraksi partai di dalamnya, demi supremasi hukum, pengubahannya wajib
melibatkan eksekutif, pers, juga KPU mahasiswa sebagai bagian dari lembaga
kemahasiswaan.
Kendati ada alasan mengatakan untuk apa dibentuk DPM jika rapat Paripurna
dalam pengambilan keputusannya harus melibatkan lembaga kemahasiswaan lain,
tentu tak bisa dibenarkan. Justru, dengan menyertakan eksekutif, pers, dan KPU
mahasiswa lah proses pengambilan keputusan menjadi lebih arif dan adil.
Apalagi, yang dibahas dalam Paripurna jelas menyangkut hajat lembaga
kemahasiswaan lain.
Alasan tersebut nampak kaku, terlampau mengidentifikasikan bahwa rapat
Paripurna itu adalah rapatnya milik parlemen, padahal tidak ada satu teori
politik pun menyebut demikian. Kalau saja bersikukuh harus parlemen oriented, kesan yang muncul seperti tak
ada bedanya dengan Al-Quran yang haram diubah karena sifat kesakralan. DPM
harus melakukan reformasi pemikiran mengkaji ulang hal ini.
Adapun keanehan politik pemerintahan mahasiswa FISIP Unpas ini tak lepas
dari ketidak-jelasan peran partai politik mahasiswa terutama fraksi yang
menjadi oposisi di DPM. Partai mahasiswa yang semestinya memiliki kekuatan melakukan
pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan mahasiswa, justru hanya
menampilkan keluguan berpolitik. Partai mahasiswa hanya sebatas rental
demokrasi yang digunakan ketika momentum Pemira saja.
Kalau saja partai mahasiswa sebagai kawah candradimuka memfungsikan
peranannya, menciptakan kader atau mahasiswa umum sebagai insan berwawasan
politik, maka DPM sebagai muara, tentu akan diisi oleh mahasiswa yang canggih
dalam pemikiran sosial politiknya. Syukur kalau bisa menjadi intelektual yang
nyantri, paham dengan keadilan berpolitik.
Melihat apa yang baru terjadi, elemen lembaga eksekutif: Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM), dan Himpunan Mahasiswa; insan pers: Badan Penerbitan Pers
Mahasiswa (BPPM); dan KPU mahasiswa, harus menyatukan kesamaan cara pandang
akan kekacauan konstitusi ini. Keadaan ini tak boleh dibiarkan demi
pembelajaran politik secara luhur, bukan terjebak dalam tataran pragmatisme
saja.
Betul, secara tak
langsung keadaan ini juga bagian dari dinamika politik mahasiswa di kampus. Tapi,
hal ini jangan sampai memunculkan pihak yang mendukung fakta ini sebagai status
quo, atau melahirkan pihak yang cuma bisa bertanya quo vadis. Semua mahasiswa
maupun birokrat yang berwenang harus berani men-taubat-kan perilaku politik
mahasiswa, atas nama pendidikan dan pengabdian. (Iwan Falset)
Beri Komentar