Pilkada Bukan Soal Besar Anggaran
Opini, Haram -- RUU Pilkada yang tengah dibahas pemerintah dan DPR menuai polemik. Terdapat dua buah draft RUU yang dibuat DPR namun saling bertolak-belakang, terutama menyoal mekanisme pemilihan. Satu draft membahas mekanisme bahwa Pilkada dilaksanakan secara langsung. Satu draft lagi menginginkan adanya Pilkada yang dilaksanakan secara tidak langsung.
Ada dua kubu dalam pembahasan RUU ini, draft yang menghendaki Pilkada langsung didukung oleh kubu yang pro Jokowi-JK yaitu PDIP, PKB, dan Hanura. Sementara draft yang menginginkan Pilkada tidak langsung didukung oleh kubu partai yang tergabung dalam koalisi merah putih, Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PAN dan PKS.
Hal yang menjadi sorotan dalam pembahasan RUU ini adalah adanya keinginan mekanisme Pilkada dilakukan tidak langsung di mana Gubernur, Walikota atau Bupati, kemudian dipilih oleh DPRD di daerahnya. Publik terkaget ketika mendengar adanya usulan ini kendati ada pula yang pro terhadap Pilkada tak langsung.
Alasan bahwa Pilkada harus dilaksanakan secara tidak langsung adalah untuk memperkecil anggaran APBN yang mesti dikeluarkan, mengingat sangat banyaknya daerah otonomi di Indonesia. Alasan ini dianggap patut dan seolah benar oleh kubu koalisi merah putih, kalau semua elemen menilik pada APBN kita yang tidak pernah sehat.
Namun yang menjadi kesalahan adalah, draft ke dua yang didukung koalisi merah putih ini, alfa terhadap hak normatif rakyat, hak politik rakyat, juga hak konstitusional rakyat. Adapun keinginan Pilkada dilaksanakan tidak langsung membawa anggapan publik bahwa kelompok pendukung sedang memberi kesan yang memaksa dan berkemauan menggebu untuk mendirikan negara oligarki, yang dikuasai oleh kelompok.
Operasi yang dilancarkan kubu yang bersikeras mengubah mekanisme Pilkada jadi tidak langsung ini cukup terbaca. Kubu koalisi merah putih di parlemen, mengangkat wacana mahalnya biaya politik Pilkada langsung dengan ditambahi label nihilnya Pilkada langsung menghasilkan pemimpin yang berintegritas dan kapabel.
Alasan itu dilempar ke publik sebagai hal yang patut didalami, sehingga ketika publik kemudian menganalisa, mayoritas akan beranggapan seperti nyata alasan tersebut. Anggapan yang dibuat kubu koalisi merah putih begitu menohok publik, lantaran telah juga menganggap bahwa rakyat masih bodoh. Ini akan menjadi kontradiksi ketika mereka menginginkan Pilkada tidak langsung namun hal itu tidak akan pernah membuat rakyat pintar.
Hal lain yang mesti kita waspadai juga adalah, adanya tujuan tersembunyi dibalik keinginan Pilkada dilaksanakan tidak langsung. Yaitu kepentingan untuk mendirikan negara oligarki. Dengan mekanisme Pilkada tidak langsung, kepentingan politik akan memaksa sistem untuk tunduk pada kepentingan kelompok. Apalagi, melihat realita politik yang terjadi di Indonesia masih sarat akan praktik politik kotor, politik uang, isu kekerasan untuk pengerahan aparat lawan rakyat. Hal ini bisa semakin ganas, jika kelompok penguasa korup menguasai negara.
Bukan berarti menjustifikasi bahwa Pilkada tidak langsung itu buruk, akan tetapi Pilkada tidak langsung bisa menjadi baik ketika dilaksanakan dengan keberpihakan pada rakyat secara penuh. Pilkada tidak langsung akan sama nihilnya jika kemudian DPRD disetir oleh calon kepala daerah yang tak punya kapabilitas tapi dia punya kekuatan uang untuk memaksakan ambisinya. Namun kembali lagi jika Pilkada tidak langsung diterapkan, apa jaminannya bisa pro rakyat ketika realita politik Indonesia hari ini masih koruptif.
Hal yang menjadi akar masalah dalam kebobrokan Pilkada maupun Pemilu nasional adalah masih kuatnya politik uang, politik rente, dan politik jejaring bisnis. Jika masalah ini tak kunjung berakhir, maka mau mekanisme Pilkada manapun akan sama-sama buruk hasilnya. Oleh karenanya untuk memutus kelemahan perilaku Pilkada adalah, adanya pendidikan politik dan pendidikan anti korupsi serta tegaknya kekuatan hukum yang berkeadilan.
Tidak peduli Pilkada langsung atau Pilkada tak langsung mekanismenya, asalkan selama momen pesta demokrasi itu benar-benar jujur dan pro rakyat, maka itu lah yang dikehendaki rakyat. Dan saat ini, pembahasan RUU Pilkada menjadi polemik. Dua kubu elit politik saling bertikai membawa kepentingannya masing-masing, rakyat diabaikan. Maka dengan itu, tepatlah anekdot, sehebat-hebatnya gajah berkelahi, tetap rumput lah yang terinjak. Sekuat apapun pemerintah saling berkelahi, tetaplah rakyat yang terinjak. (Semester Haram)
Beri Komentar