Dinamika Pendidikan, Akankah Menjadi Indikator Gagal Sejahtera?
Opini, Sagita -- Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Dengannya, dunia bisa berubah sesuai dengan keinginan. Mesin bisa dibuat, pekerjaan bisa didapatkan, sehinggan tanpanya hidup akan terasa tidak lengkap. Kini, di negara kita Indonesia hal ini menjadi masalah. Kurang berkembangnya pendidikan Indonesia, menyebabkan ketidakseimbangan pendidikan yang didapat oleh anak bangsa. Padahal, sudah jelas tertera dalam pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.
Tidak hanya faktor ekonomi orang tua yang menjadi alasan ketidakberdayaan anak bangsa untuk memperjuangkan haknya mendapatkan pendidikan yang layak. Anak yang berkemampuan untuk menuntut ilmu pun, dirasa tidak mendapatkan haknya secara penuh. Perbedaan kurikulum setiap tahunnya menyebabkan tidak semua materi dapat disampaikan, padahal beban pelajaran sekolah sudah ditambahkan. buku-buku tebal pun tidak ada artinya ketika dibandingkan dengan pendidikan beberapa tahun lalu jauh sebelum zaman millenium.
Selain itu, sistem ujian nasional yang setiap tahunnya mengalami perubahan. Meskipun tujuan awal adalah memperbaiki sistem sebelumnya yang dianggap kurang aman, namun sampai saat ini masih juga dirasa kurang efektif dalam memperbaiki sistem pendidikan Indonesia. Alhasil, bibit baru calon pemimpin bangsa tak juga mengalami peningkatan kualitas. Ditambah lagi dengan banyaknya penyimpangan yang terjadi seperti jual-beli soal dan kunci jawaban, hal ini kerap kali terjadi setiap tahunnya dan tidak ada tindaklanjut yang pasti dari pemerintah.
Keadaan generasi c-generation saat ini juga menjadi fakta yang tak terbantahkan. Semakin jauh mereka kenal dengan dunia teknologi semakin jauh pula penggunaan mereka terhadapnya. Tak jarang kegunaannya ini disalahartikan. Handphone yang dijadikan sarana untuk contek-mencontek, pembukaan situs porno di internet, media sosial yang seakan-akan menjadi candu.
Tanpa disadari, kurangnya kualitas pendidikan Indonesia menjadi satu-satunya alasan mengapa negara kita masih berada dalam zona merah kesejahteraan. Pengangguran diakibatkan keterbatasan kreativitas dalam menciptakan lapangan kerja, kemudian berdampak pada kemiskinan, ditambah lagi aksi kriminalitas yang kerap kali terjadi dengan alasan keterbatasan ekonomi, jika dilakukan oleh kaum intelektualitas seperti halnya korupsi, artinya yang perlu dibenahi adalah mentalnya sendiri.
Jika terus-menerus begini, hal ini membuktikan seolah-olah Indonesia belum siap berdiri tegak pada poros pendidikan. Meski tidak selamanya demikian, namun ini penting untuk diperhatikan. Sistem pendidikan harus sedemikian rupa dirancang agar tidak mengalami begitu banyak perubahan. pikir saja, ketika perubahan kurikulum dan berbagai sistem pendidikan, berapa rupiah lagi Indonesia harus “merogoh kocek” hanya untuk biaya sidang dan rapat paripurna? Jika bisa berpikir simple dan logis, biaya itu dapat dialokasikan untuk dana pendidikan tidak mampu bagi anak yatim piatu di panti asuhan maupun yang lainnya. Hal tersebut menjadi PR besar bagi pemerintahan baru saat ini.
Pemerintah dan “kita” juga harus bisa bergandengan tangan saling berangkulan untuk memberikan motivasi bagi mereka yang tidak mampu untuk jalan bersama kita. Mereka harus kita dampingi, dirangkul, dibantu, bukan untuk ditinggalkan. Karena seorang manusia akan pincang ketika hanya berjalan dengan satu kaki saja. (Sagita Edriana)
Beri Komentar