Header Ads

Soal Advokasi, Dekan FISIP: DPM Harus Selektif!

Drs. Aswan Haryadi, M.Si.
Lengkong Besar, BPPM -- Program Advokasi komisi III DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) ditujukan bagi mahasiswa tidak mampu. Namun, pada kenyataanya advokasi setiap tahunya meningkat, dan mahasiswa yang tergolong sangat mampu pun turut antri untuk beradvokasi. Proses yang tidak selektif membuat beberapa mahasiswa memanfaatkan program advokasi tersebut.

Franz Napitupulu selaku ketua komisi III DPM, mengaku telah memberlakukan advokasi dengan menelpon orang tua agar ketahuan siapa yang benar-benar tidak mampu. “Nelpon orang tua itu biar ketahuan siapa yang benar-benar tidak mampu dan yang mampu tapi uangnya kepake sama dia,” ungkapnya. Ia mengakui pula program tersebut memang tidak efektif karena banyak mahasiswa yang beralasan orang tuanya ada di luar negeri dll.

Hal tersebut mendapat tanggapan dari Dekan FISIP Unpas, Aswan Haryadi. Pihak fakultas mengaku kesulitan dengan semakin meningkatnya mahasiswa yang advokasi. “Tahun ini baru 55% yang masuk ke kas fakultas, hitunganya per kepala mahasiswa,” ujarnya. Hal itu memberatkan fakultas dalam memenuhi anggaran belanja seperti gaji pegawai, gaji dosen, dana untuk menyelenggarakan ujian. “Ujian itu kan juga perlu dana dek, kita ini kan swadaya bukan kampus negeri yang anggaranya sudah pasti ada” kata Aswan.

Saat ditanya soal belanja modal misalnya berupa perbaikan fasilitas, Aswan menjelaskan bahwa belanja modal adalah sisa dari anggaran belanja. “Biasanya anggaran belanja itu 80%, sisanya untuk fasilitas dsb,” ungkapnya. Ia menambahkan perlu dikritisi pula mahasiswa yang menggunakan mobil khususnya, menggunakan gadjet mahal namun advokasi. “Mereka menuntut fasilitas, tapi bayaran saja tidak di prioritaskan, kita ini kan swadaya,” pungkasnya.

Untuk mengatasi polekmik advokasi tersebut DPM memberlakukan kenaikan 5% DPP yang mengikuti advokasi. Awalnya pihak fakultas menghendaki kelunasan DPP saat menginjak UTS genap. Namun, dengan berbagai pertimbangan sampailah keputusan kenaikan 5%, dengan catatan UAS tidak ada lagi advokasi alias harus sudah lunas. “Ada atau tidak ada advokasi nanti untuk persetujuan pihak komisi,” ungkap Franz.

Berbeda dengan Aswan, ia malah menyarankan DPM harus lebih selektif menerima mahasiswa yang ingin advokasi, harus melalui proses wawancara maupun meminta bukti bahwa mahasiswa tersebut memang benar-benar membutuhkan advokasi. “Jangan karena teman lalu langsung di advokasi,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa lembaga seharusnya memperlihatkan kewibawaanya dalam hal advokasi ini. Tidak adanya advokasi bukan solusi. “Kita harus ada fungsi sosialnya, lebih baik DPM lebih selektif saja prosesnya, advokasi harus tetap ada karena memang ada yang benar-benar membutuhkan, yang jelas selektif saja” jelasnya. (Iswandari, Sagita, Resha)






Tidak ada komentar